Industri penerbangan Jepang telah menetapkan target ambisius mengurangi emisi karbonnya menjadi nol selambatnya 2050. Satu bahan mentah yang sebelumnya dianggap sebagai limbah dapur dapat memberikan peluang nyata untuk mencapai target ini.

TOKYO - Tsuboi Yasuyuki, seorang manajer sebuah izakaya di Tokyo, mengatakan bahwa restorannya biasanya tiap bulan menggunakan beberapa drum minyak goreng ukuran 18 liter. Ia biasanya membayar jasa pembuangan untuk mengambil minyak yang sudah digunakan.

Namun, baru-baru ini ia mulai menerima permintaan dari sejumlah perusahaan yang berminat untuk mengambilnya secara gratis. Sebagian malah menawarkan untuk membayarnya.

"Kami dulu menganggapnya sebagai limbah," ujar Tsuboi. "Kini, orang-orang meminta untuk mengambilnya dari kami, dan ini sangat aneh," imbuh dia.

Alasan permintaan yang tiba-tiba itu adalah jelantah kini bisa digunakan untuk menghasilkan bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF.

Sekitar sepertiga dari 400.000 ton yang didapat di Jepang dalam satu tahun terakhir digunakan untuk mengisi bahan bakar pesawat dan kendaraan lainnya.

SAF adalah istilah industri penerbangan bagi bahan bakar yang didapat dari sumber nonfosil. Minyak goreng bekas pakai atau jelantah merupakan unsur utama yang digunakan bagi produksi, tetapi riset tengah dilaksanakan guna mengetahui sumber limbah lain yang bisa dimanfaatkan.

Pada Oktober lalu, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menetapkan target bagi maskapai internasional untuk memangkas emisi karbon secara nyata menjadi nol selambatnya 2050. Ini merupakan respons terhadap meningkatnya tekanan masyarakat terhadap industri penerbangan untuk mengurangi jejak karbonnya.

Para pakar dalam Grup Aksi Transportasi Udara mengatakan industri penerbangan menghasilkan 915 juta ton CO2 pada 2019. Jumlah itu sekitar dua persen dari total emisi global.

Maskapai-maskapai penerbangan terus mengambil langkah untuk mengurangi emisi dalam tahun-tahun belakangan. Perusahaan-perusahaan itu telah mulai menggunakan lebih banyak pesawat berbahan bakar efisien serta mengambil jalur penerbangan yang lebih pendek.

Namun, langkah-langkah ini tampaknya hanya mengurangi emisi sebanyak sekitar 20 hingga 30 persen dari target ICAO. Perusahaan manufaktur juga mengembangkan pesawat bertenaga hidrogen dan listrik, tetapi masih jauh dari siap untuk digunakan secara komersial.

Sebagai hasilnya, industri penerbangan makin menganggap SAF sebagai penyelamat. Perkiraan mengisyaratkan bahwa mengganti bahan bakar jet konvensional dengan SAF akan mengurangi emisi industri penerbangan secara keseluruhan sebanyak kurang lebih 80 persen.

Merambah ke Asia

Kebijakan Uni Eropa mempromosikan SAF berarti bahan bakar ini paling banyak digunakan di Eropa. Namun, sebuah kilang besar kini tengah dibangun di Singapura yang akan memiliki kapasitas produksi tahunan satu juta ton atau sekitar lima kali dari total global saat ini 200.000.

Perusahaan Finlandia, Neste, merupakan produsen SAF terbesar di dunia dan terlibat dalam proyek tersebut. Perusahaan itu memasok SAF ke maskapai penerbangan Jepang melalui perusahaan perdagangan Itochu Corporation.

Eksekutif Neste Sami Jauhiainen mengatakan kilang itu merupakan bagian dari upaya perusahaannya untuk menumbuhkan industri ini dan meningkatkan penggunaan SAF di Asia.

"Kawasan Asia Pasifik mencatat hampir 40 persen konsumsi bahan bakar jet global dan ini akan terus tumbuh dalam beberapa tahun dan dekade mendatang," jelas Jauhiainen. "Kami akan berada di posisi yang tepat guna memenuhi kebutuhan dan permintaan konsumen seluruh wilayah Asia Pasifik dari kilang produksi kami di Singapura," imbuh dia.

Pada awal 2022, serangkaian perusahaan terkenal Jepang membentuk Act For Sky, sebuah organisasi yang dikhususkan untuk memproduksi dan mendorong SAF. Anggotanya termasuk maskapai-maskapai besar All Nippon Airways dan Japan Airlines, serta juga perusahaan yang tidak masuk dalam industri penerbangan seperti Itochu, Idemitsu Kosan, dan Mitsubishi Heavy Industries.

Salah satu fokus utama grup itu adalah mendapatkan jelantah. Grup itu telah menyusun daftar bisnis yang bersedia bekerja sama, termasuk restoran cepat saji besar, produsen makanan beku, jaringan restoran sushi, dan hotel.

Tiga anggota Act For Sky yaitu JGC, Cosmo Oil, dan REVO International memimpin upaya grup itu untuk memproduksi SAF di dalam negeri. Perusahaan-perusahaan itu saat ini membangun pabrik di Kota Sakai, Osaka, yang akan memiliki target produksi sekitar 30.000 ton dalam tiga tahun.

Ini jumlah yang relatif kecil, tetapi baru yang pertama dari banyak proyek serupa yang direncanakan di Jepang.

Nishimura Yuki, eksekutif JGC yang terlibat dalam Act For Sky, mengatakan pendirian basis produksi dalam negeri sangat penting guna memastikan keberlangsungan keseluruhan proyek SAF.

"Minyak goreng bekas pakai saat ini dikirim ke luar negeri, diproses menjadi SAF, dan dibawa kembali ke Jepang," jelas Nishimura. "Tentu saja, mengekspor dan mengimpor menghasilkan karbon dioksida dan memakan biaya. Jadi demi kepentingan nasional dan target dekarbonisasi Jepang, kami perlu sesuatu yang berbeda," imbuh dia.

Kompetisi di antara negara-negara terus memanas dalam pencarian alternatif jelantah. Kenaikan permintaan bagi limbah minyak seperti itu telah membuat harganya membubung dan memicu kekhawatiran kekurangan pasokan. Sebagian peneliti meyakini limbah pangan dan kayu punya potensi untuk digunakan dalam SAF.

"Saya bertekad untuk mengerahkan segala upaya untuk mengembangkan SAF secara domestik," tutur Nishimura. "Tujuannya agar orang-orang tidak merasakan malu lagi saat terbang," pungkas dia. NHK/I-1

Baca Juga: