» Kemenperin menyiapkan kebijakan listrik perumahan dari solar cell untuk menambah kapasitas daya listrik nasional.
» Peningkatan peran industri panel surya dalam negeri untuk mengerek penggunaan komponen lokal sehingga harga PLTS semakin kompetitif.
JAKARTA - Dukungan untuk terus merealisasikan bauran energi nasional dengan energi baru dan terbarukan (EBT) semakin kuat, terutama pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dinilai sangat cocok dengan kondisi Indonesia, baik dari sisi ketersediaan sumber energinya maupun kondisi geografis.
Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian, Herman Supriadi, mengatakan pemanfaatan energi surya menjadi satu opsi yang terus dikembangkan melalui Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035. Dalam rencana tersebut, terdapat 10 industri prioritas, salah satunya industri PLTS.
Berkaitan dengan industri listrik tenaga surya, salah satunya adalah memfasilitasi pendirian pabrik yang mengolah material komponen pembangkit listrik tenaga surya. Selain itu juga memfasilitasi alih teknologi industri sel surya melalui pendirian ataupun akuisisi. Hal yang tidak kalah penting adalah memfasilitasi penelitian dan pengembangan komponen sel surya untuk implementasi industri dan masayakat.
Pihaknya juga menyiapkan kebijakan listrik perumahan dari solar cell untuk menambah kapasitas daya listrik nasional.
"Dalam rangka memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri, Kemenperin melalui kebijakan peningkatan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) akan selalu mendorong persyaratan TKDN dalam setiap pengadaan PLTS," kata Herman dalam diskusi daring bertajuk "Tantangan Pengembangan Industri Surya sebagai Bagian dari Transisi Energi", di Jakarta, akhir pekan lalu.
Peningkatan peran industri panel surya dalam negeri itu dimaksudkan untuk mengerek penggunaan komponen lokal sehingga harga PLTS bisa kompetitif.
Kementerian Perindustrian sendiri mencatat importasi komponen PLTS sejak 2018 hingga 2020 mengalami penurunan. Sejalan dengan tren itu, Kemenperin turut memacu industri panel surya dalam negeri dengan menargetkan TKDN panel surya mencapai 90 persen pada 2025.
Kemenperin mencatat nilai impor sel surya pada 2020 sebesar 3,5 juta dollar AS atau turun 76 persen dibanding pada 2018. Begitu juga dengan impor produk modul surya sejak pada 2020 yang turun 56 persen. Begitu juga nilai impor sel surya pada tahun lalu senilai 14,8 juta dollar AS.
Meskipun data menunjukkan tren penurunan impor, namun dia belum memastikan apakah karena substitusi impor atau karena daya konsumsi yang menurun akibat situasi pandemi.
Sinyal Positif
Menanggapi hal itu, Pakar EBT dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto, mengatakan target Kemenperin tersebut merupakan sinyal positif dalam memacu industri panel surya dalam negeri sehingga ke depan pemanfaatan EBT sebagai sumber energi akan lebih luas.
"Seharusnya begitu karena sebenarnya kita mampu melakukannya asal difasilitasi pemerintah. Langkah ini akan membuat investor luar dan dalam negeri berlomba-lomba untuk memproduksi panel surya dalam negeri. Tentu positif, karena nanti mereka juga mengembangkan kemampuan untuk membuat berbagai komponennya. Ini bisa dilakukan mulai dari awal atau rekayasa engineering seperti yang sudah sering dilakukan Tiongkok, dengan meneliti komponen-komponen yang sudah ada, lalu membuatnya. Selain memperluas penggunaan EBT, ini juga akan berdampak positif bagi perekonomian karena akan sangat menekan impor mengingat ke depan kebutuhan panel surya akan semakin besar seiring dengan kebutuhan masyarakat dalam menggunakan EBT yang meningkat," kata Suprapto.
Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan penurunan impor merupakan indikasi yang baik bagi perekonomian.
Sebab, upaya memenuhi ketersediaan listrik untuk rumah tangga dan industri akan semakin tercukupi. Apalagi, sumber pembangkit yaitu sinar matahari tersedia secara cukup di wilayah Indonesia. "Energi baru terbarukan akan menghilangkan kebergantungan terhadap minyak bumi," papar Suhartoko.
Dengan demikian, alokasi belanja bahan bakar minyak (BBM) bisa dialihkan ke pengeluaran yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemerataan pembangunan.
Dalam kesempatan terpisah, Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radi, mengatakan penurunan impor mestinya diimbangi dengan peningkatan TKDN. "Perlu upaya pemerintah untuk mendorong industri Panel Surya di dalam negeri," katanya.
Beberapa hal yang masih perlu didorong pemerintah, di antaranya mendorong peningkatan jumlah konsumen PLTS Atap untuk mencapai kapasitas terpasang dan pemberian insentif fiskal bagi industri panel panel," kata Fahmi.