» Bagaimana bisa bersaing dengan negara-negara yang surplus, untuk makan saja harus impor, untuk bayar utang harus utang baru.

» Kalau APBN dan APBD dan intermediasi tidak diarahkan ke sektor riil yang produktif, maka uang akan menguap.

JAKARTA - Mencuatnya berbagai masalah sosial ekonomi bangsa ke permukaan akhir-akhir ini seperti, sepinya pasar tradisional dan turunnya pendapatan pedagang kecil merupakan pertanda kalau daya beli masyarakat yang menurun. Sementara, di sisi lain, para elite politik tampak masih berpesta pora dengan perilaku yang tidak terpuji seperti maraknya korupsi seolah tiada hari esok. Bahkan, mereka tidak sadar dan tidak perduli kalau jutaan rakyat hidupnya semakin susah.

Berkurangnya daya beli masyarakat tersebut karena sektor riil atau dunia usaha tidak pernah dipertahankan dan diperkuat, sehingga lapangan kerja otomatis berkurang dan pendapatan masyarakat khususnya pekerja hilang.

Belum lagi di sektor informal yang tidak terukur dalam data, namun sebagian besar pekerja di sektor tersebut adalah rakyat. Sektor informal, otomatis hilang dalam kondisi ekonomi melemah seperti sekarang.

Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/10) mengatakan, sektor riil yang kopong diciptakan secara sistematis sejak belasan tahun. Pada akhirnya, kehabisan darah dan ibarat tubuh manusia berpotensi mengalami gagal jantung, namun tidak ada yang perduli.

"Indonesia harus banting setir dalam pembangunan ekonomi, sektor riil, pertanian, keuangan negara, intermediasi bank untuk melepaskan diri dari resesi dan depresi hebat di masa datang," kata Siprianus.

Pemerintah saat ini, belum memberikan ruang dalam meningkatkan sektor riil di Tanah Air. Padahal, sektor riil itu jika didorong, akan membuka lapangan kerja, sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara sebagai penopang pertumbuhan ekonomi khususnya dari konsumsi dan investasi.

"Namun yang terjadi saat ini adalah para politisi dan elit politik, hanya sibuk mengurus urusan politik tanpa memperhatikan sektor ekonomi yang saat ini cukup prihatin dan membutuhkan terobosan baru guna mengatasi terjadinya krisis hebat dimasa mendatang," kata Siprianus.

Kepentingan rakyat harus selalu diutamakan bukan pada kepentingan elite yang selalu mencari panggung di tengah tahun politik saat ini. "Kalau hal ini terus berlanjut, maka rakyat akan semakin menderita dan kaum oligarki dan kroninya terus meraup keuntungan yang besar," katanya.

RI menurutnya, harus membangun sektor riil terutama industri produktif yang menciptakan banyak lapangan kerja untuk rakyat. "Tidak perlu yang berorientasi ekspor, yang untuk substitusi barang impor saja tidak bisa. Kenapa? karena tidak ada kemauan untuk membangun," katanya.

Hal yang terlihat, industri pindah atau relokasi dari satu tempat ke tempat lain, hanya karena persoalan Upah Minimum Regional (UMR) yang lebih rendah. Pabrik akhirnya relokasi dari Jawa Barat ke Batang, Jawa Tengah.

"Kan konyol, kalau terjadi inflasi di Jawa Tengah dan UMR naik terus, mau pindah ke mana lagi. Begitu rapuhnya industri kita. Bukan mengikuti daya beli masyarakat tapi mengikuti UMR murah. Kalau banyak yang pindah ke Jawa Tengah, pengangguran di Jawa Barat bisa bertambah."

Dalam kesempatan terpisah, Rektor Universitas Airlangga Surabaya, Mohammad Nasih, menyoroti ketimpangan ekonomi yang ada. Dari sisi angka-angka, data menunjukkan kondisi yang menggemberikan karena Indonesia akan masuk PDRB nomor 5 di dunia.

"Namun demikian, keadilan ekonomi masih rendah. Orang kaya semakin kaya yang miskin tetap miskin. Ini pasti ada yang salah. Uang berputar di orang kaya saja, sehingga mereka bertambah kaya, sementara uang orang miskin berputar di mereka saja, sehingga karena jumlahnya kecil sementara kebutuhannya besar, maka keadaannya (kemiskinan) tidak berubah," kata Nasih.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan Pemerintah juga perlu mewaspadai kondisi yang terjadi di Tiongkok. Saat ini ekonominya parah karena kredit macet di atas 1 triliun dollar AS di properti. Sedangkan, ekonominya melambat karena industri kelebihan barang produksi akibat perang dingin dengan Eropa dan AS.

Eropa dan AS pun berhenti mengimpor barang konsumsi. Pada akhirnya, surplus barang tadi di dumping.

"Makin mereka dumping makin matilah kita. Siapa bisa bersaing, karena dia surplus barang. Kita semakin tidak bisa bersaing membangun industri substitusi impor karena kita abai selama belasan tahun," kata Aditya.

Kalau ditanya ke semua industri dalam negeri, mereka pasti mengaku dipersulit, yang tidak dipersulit hanya kroni dan oligarki.

"Ini hasil dari mereka yang tidak mempunyai misi pembangunan nasional, yang ada hanya perang kekuasaan. Karena abai belasan tahun, maka sampai hari ini belum ada tanda-tanda banting stir ke arah industri produktif dan sektor riil," katanya.

"Akibat perang kekuasaan, pembangunan generasi muda diabaikan, pengurangan stunting lambat. Bagaimana mau mengurangi stunting kalau kemiskinan bertambah. Kalau generasi muda kita stunting bagaimana bersaing dengan kualitas SDM negara lain. Kita di dalam negeri ribut soal politik. Apa yang mau diperebutkan? Kalah menang jadi abu, yang direbutin tulang. Tidak ada yang sadar rebutan kekuasaan itu merebut apa? Hanya tulang belulang," kata Aditya.

Dia juga menyoroti kinerja Pelaksana Tugas Menteri Pertanian (Mentan) yang karena ada harga komoditas mau naik, terus menyatakan cepat-cepat impor. "Kan parah, kalau eksportirnya tidak mau mengekspor atau menjual terus bagaimana. Kalau solusinya hanya mempercepat impor, bagaimana terbelakangnya pemikiran seperti itu. Kalau demikian, maka tidak perlu Pemerintah," katanya.

Meskipun alasannya itu solusi sementara. Tapi selama belasan tahun, ya itu terus, benar-benar tidak berpikir. Kebergantungan pada pangan impor dari tahun ke tahun terus terulang. Impor pangan setiap tahun meningkat 15-20 persen. Lebih cepat dari penambahan populasi.

"Berarti, secara perlahan tapi pasti industri dalam negeri dimatikan. Kalau kualitas pemimpin begini, maka bagaimana bisa RI hadapi masa depan yang semakin berat dalam persaingan dunia. Dalam Ekonomi keuangan industri dan teknologi semuanya kita tertinggal," katanya.

Baru dengan loka pasar (e-commerce) saja, Pemerintah sudah kewalahan karena sebagian besar impor semua. Bagaimana nanti kalau kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) bisa berkuasa di online?

"Ujungnya, Indonesia tidak akan menjadi lagi negara berdaulat kalau tidak bisa mandiri pangan, industri dasar, dan mandiri teknologi. Kita tidak ada dasar atau fondasi. Kita hidup saat ini hanya dengan sumber daya lama dan bahan mentah, UMR rendah, populasi besar untuk konsumsi yang akan menurun dalam produktivitas lima tahun ke depan, dan beban utang luar negeri yang mencapai 450 miliar dollar AS. Bagaimana kita bisa berdaulat?" katanya.

Tidak Punya Daya Tawar

Dengan kondisi yang seperti itu, negara lain lanjutnya, tidak perlu perang dengan Indonesia, cukup tombol satu knop, kita sudah kalang kabut. Tidak perlu perang dengan RI untuk taklukkan RI. Kita tidak punya bargaining power di dunia internasional, hanya mengemis kiri kanan.

Sebab itu, tanpa perubahan paradigma atau perubahan haluan yang kuat untuk membangun pertanian nasional dsn industri produktif, pemberdayaan keuangan negara yang efisien untuk sektor riiil, bukan untuk konsumtif maka RI sulit melepaskan diri dari mental pedagang dan calo. Indonesia akan terjepit dalam kondisi kehilangan opsi di masa mendatang. Karena, di sektor apapun pergerakannya tertutup dan tertinggal.

"Bagaimana bisa bersaing dengan negara-negara yang surplus. Untuk makan saja harus impor, untuk bayar utang harus utang baru. Untuk tutup kredit macet dibuat kebijakan bunga yang tidak adil. Masa biaya uang dollar di AS sama dengan biaya di sini. Dengan spread margin 100 persen itu kan untuk menutup potensi kredit macet," katanya.

Kalau OJK tidak mengeluarkan aturan dividen seperti kemarin maka bank pasti akan membagi semua keuntungannya dan tidak ada lagi cadangan. Sementara itu, pinjaman online (Pinjol) dibiarkan.

Pendapatan pajak pun terus menurun terus, karena kondisi ekonomi yang sangat menurun.

Jika Tidak ada lagi kebangkitan nasional untuk perubahan paradigma, Indonesia akan semakin sulit ke depan. Sebab itu, jangan mau dibodohi lembaga internasional yang memberi harapan palsu.

"Kita dipuji lembaga internasional supaya kita mengutang lebih banyak untuk menutupi utang sebelumnya. Akhirnya satu negara milik mereka. Kalau kita ditagih utang, suruh bayar utang, kita kalang kabut. Bayar pakai apa? Mau jual pulau? Jangan bilang tidak menjual kedaulatan, karena yang dilakukan pejabat saat ini ya menjual kedaulatan secara perlahan, sedikit demi sedikit. Kita meminta dan mengemis untuk beli pangan. Mereka yang menjual merasa membantu dan yang membeli merasa mengemis. Itu kan sudah menjual secara menyicil," kata Aditya.

Uang Menguap

Padahal, kalau anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan APBD, ditambah intermediasi bank dikerahkan untuk sektor riil, maka akan menjadi sumber nafkah bagi rakyat. Masalahnya, tidak diarahkan ke sana, semua untuk oligarki yang selalu mencari jalan sebagai pedagang. Kalau pedagang, mereka tidak memutar uang dengan cepat karena dihabiskan untuk konsumsi. Akibatnya, semua uang lenyap.

"Kalau APBN dan APBD dan intermediasi tidak di arah kan ke sektor produktif dan sektor riil maka uang akan menguap, karena konsumtif dan sebagian besar habis untuk bayar biaya impor. Itu masalah utama," katanya.

Sebagai solusi, para Menteri Koordinator dan pemimpin bangsa harus segera banting setir arah pembangunan ekokomi dan keuangan agar terhindar dari resesi hebat.

"Percuma menahan pembelian online dan tiktok shop, kalau tidak membangun penggantinya di dalam negeri. Kalau barang yang dibutuhkan rakyat tidak dibangun, rakyat tidak belanja dan akhirnya tidak ada perputaran uang. Apakah mungkin membendung barang impor murah? Mustahil. Caranya ya produksi sendiri. Belanja online ditutup semua ya percuma. Percuma kalau dalam negeri tidak membangun. Kenapa tidak membangun? Mustahil bersaing dengan negara-negara yang menciptakan ekonomi biaya murah, sementara kita adalah negara ekonomi biaya tinggi akibat dipersulit aparat sendiri," katanya.

Pada akhirnya akan lebih gampang dengan mengimpor. Masalah-masalah tersebut tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan menambal sementara.

Aditya juga menyoroti intermediasi perbankan yang sampai hari ini pembiayaan ke segmen Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak ada kemajuan berarti. UKM tidak bisa tumbuh dengan sendirinya.

"Tiga unsur yang UKM butuhkan yaitu, software, inovasi dan efisiensi, lalu permodalan serta marketing distributiion. Yang punya itu hanya negara. Kalau tidak dibantu negara bagaimana bisa bersaing dengan raksasa. Bank pun tidak berminat membiayai mereka, lebih enak sama kroni. Di negara lain, mereka semakin ketat melindungi sektor keuangan mereka, sementara kita semakin lemah, saat ini rakyat makin susah," katanya.

Baca Juga: