JAKARTA - Melihat potensi masa depan ekonomi digital Indonesia menunjukkan tren pertumbuhan industri yang eksponensial. Untuk itu, para pelaku industri meminta perlindungan hukum atas privasi data pribadi mendesak dilakukan.

Senior Fellow Data Privacy Project Lead, Association of Business Law Institute (ABLI) Singapura, Clarisse Girot menjelaskan bagaimana ketidakpastian hukum dan perbedaan antara undang-undang perlindungan data di Asia menjadi penghalang bagi aliran data dan membatasi peluncuran program manajemen privasi yang konsisten, yang merupakan andalan perusahaan layanan digital inovatif.

"Untuk mengikuti trend yang ada, pemerintah Indonesia perlu secara aktif memfasilitasi kepatuhan dalam privasi dan perlindungan data, juga membangun strategi dengan melihat pengalaman dari negara lain. Hal positif yang terlihat adalah naskah RUU perlindungan data yang kuat, terlepas dari adanya kekurangan - dimana salah satunya adalah kurangnya otonomi dari otoritas khusus perlindungan," kata Girot dalam webinar yang dilakukan oleh European Business of Commerce (EuroCham) Indonesia, kemarin.

Secara keseluruhan, tambahnya hal ini menegaskan kembali pentingnya pemerintah Indonesia untuk mengadaptasi undang-undang yang dapat mengatasi risiko kejahatan dunia maya (cybercrimes) dan pelanggaran privasi atas data dari besarnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

Hal lain, menurut Girot yang perlu menjadi perhatian dalam naskah Rencana Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) saat ini adalah fungsi Badan Pengawas yang akan berada dibawah jajaran kementerian, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.

Kebutuhan dan keunggulan memiliki otoritas pemerintahan yang independen juga disoroti oleh Rofi Uddarojat, Kepala Kebijakan Publik Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA), menurunya independensi otoritas perlindungan data adalah lembaga penting dari perlindungan data yang efektif. Otoritas pengawas yang independen dan berdedikasi dengan keahlian dan wewenang investigasi dan penegakan yang kredibel bermanfaat bagi individu dan operator bisnis.

"Sejalan dengan hal tersebut, survei Mastel dan APJII pada tahun 2017 menemukan bahwa 79% responden di Indonesia keberatan jika data pribadi mereka ditransfer tanpa persetujuan dan izin yang jelas, dan 98% responden mendukung pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)," katanya.

Sedangkan Manajer Senior Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Gojek, Ardhanti Nurwidya mengatakan, pihaknha terus memastikan langkah-langkah keamanan dan keselamatan yang optimal untuk melindungi privasi data pengguna dan mitranya. Sebagai pemain teknologi regional, Gojek mematuhi berbagai hukum dan peraturan yang berlaku serta praktik pasar.

Baca Juga: