JAKARTA-Industri biodiesel di Indonesia dinilai telah beroperasi sesuai arahan pemerintah dengan berupaya membangun kemandirian energi di dalam negeri, serta mendukung sektor perkebunan kelapa sawit.

Hal itu menyikapi demo sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan petani kelapa sawit,dan terus-menerus menyuarakan mengenai pengusaha yang dianggap diuntungkan subsidi biodiesel.

"Produsen jangan terusan-terusan jadi victim (korban) karena mereka mengikuti aturan pemerintah. Kalau ada yang dilanggar ada proses hukumnya," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Policy (Paspi) Tungkot Sipayung, Selasa (14/11).

Menurutnya, subsidi biodiesel sebenarnya bukan diberikan kepada pelaku usaha, tetapi kepada konsumen. Pasalnya, harga biodiesel tergantung harga Crude Palm Oil (CPO) dan bahan bakar minyak (BBM) dunia. Pemerintah setiap bulan telah menetapkan Harga Indeks Pembelian (HIP) solar dan HIP biodiesel. Jika HIP solar lebih murah dari HIP biodiesel, maka Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menutup selisihnya (HIP biodiesel dikurangi HIP solar). Sebaliknya, bila HIP Solar lebih mahal dari HIP biodiesel (seperti saat ini) tidak ada subsidi dari BPDKS.

Pada kesempatan itu, Tungkot juga menjelaskan bahwa kartel di industri sawit, terutama minyak goreng di Indonesia secara ekonomi tidak ada karena jumlah pemainnya banyak. "Paling ideal adalah persaingan sempurna, yang mana pemainnya banyak, seragam, dan tidak ada persaingan tapi itu hanya ada di text book," ujarnya.

Di Indonesia, kata dia, ada banyak pelaku minyak goreng, yaitu sekitar 100 produsen dari skala kecil hingga besar. Dari jumlah tersebut, sekira 70 produsen menjadi anggota Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni). Sesuai adagium ekonomi, jika ada banyak pemain dalam suatu industri, meskipun mereka didorong untuk melakukan kartel tetap tidak akan terjadi karena industri akan berjalan sendiri-sendiri. Kondisinya akan berbeda jika pemainnya sedikit, kendati dilarang sekalipun, tetap akan terjadi kartel.

"Sekarang ada 70-80 produsen dan mereknya berbeda-beda, itu cukup banyak untuk ukuran industri minyak sawit di Indonesia," kata Tungkot.

Minyak Nabati

Indikasi lain tidak adanya kartel minyak goreng yaitu persaingan pasar minyak goreng dalam negeri tidak hanya sawit, tetapi juga ada minyak nabati lainnya dari luar negeri, seperti rapeseed dan biji bunga matahari. Selain bahan baku melimpah, ada banyak distributor dan pemain di setiap provinsi.

Apakah harga minyak goreng dikendalikan? Berdasarkan data Paspi, harga minyak goreng dalam negeri mengikuti irama harga dunia yang menunjukkan pasar terintegrasi dengan internasional. Tungkot menyebut, kondisi tersebut justru positif yang menunjukkan bahwa pasar di tanah air efisien. "Sejak 2019 harga dalam negeri lebih stabil dibanding internasional. Kalau ada kartel harga lokal pasti ikut internasional," ungkapnya.

Tungkot menambahkan, tidak ada mafia minyak goreng yang memicu kelangkaan. Hal itu terjadi akibat berlakunya dimestic price obligation (DPO), yaitu ditetapkannya harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng 14 ribu rupiah di tangan konsumen, padahal ada biaya distribusi dari produsen ke pasar dan tidak sesuai dengan harga CPO yang berlaku. Hal itu menyebabkan produsen rugi sehingga memangkas produksinya.

Baca Juga: