JAKARTA - Sejumlah kalangan mengingatkan agar pemerintah Indonesia tidak membanggakan diri menjadi klien dari kreditur internasional, Bank Dunia. Sebab, selama ini pertumbuhan ekonomi yang ditopang sektor konsumtif terbukti tidak bisa mengimbangi pertumbuhan utang negara sehingga utang menumpuk hingga hampir 4.000 triliun rupiah.


Selain itu, utang negara juga terus membengkak akibat harus menanggung utang tidak produktif, yakni utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menggerus keuangan negara selama 19 tahun.


Demikian diungkapkan oleh Direktur Program International Resocurce Institute (IRI), Wisnu Agung Prasetya, ketika dihubungi, Rabu (26/7). Menurut dia, pada kenyataannya rakyat tidak bisa lari dari kewajiban untuk dipotong hak anggarannya guna membayar utang BLBI.


"Namun, hak negara kepada obligor BLBI tidak ditagih. Mana penegakan hukumnya, sementara negara tidak bisa lari dari kewajiban utang," papar dia.


Wisnu juga meminta pemerintah tidak selalu menyatakan utang masih aman dengan dalih rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang lebih rendah, bahkan lebih rendah dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS).


"Karena mereka ibaratnya utang pada diri mereka sendiri, ekspor mereka sangat besar, dan mereka menguasai perekonomian dunia. Sedangkan kita, kemampuan bayar makin payah karena harus gali lubang tutup lubang. Kalau tidak bayar bisa dipailitkan," jelas dia.


Sementara itu, ekonom Indef, Eko Listiyanto, mengatakan peran Bank Dunia seharusnya dibatasi. Pasalnya, lembaga keuangan tersebut terdiri atas berbagai negara donatur yang memiliki kepentingan masing-masing.


"Apalagi World Bank diajak mendanai infrastruktur. Nanti kan isunya lagi-lagi independensi policy yang kita bikin. Yang kita khawatir, policy kita di-drive untuk kepentingan mereka," kata Eko.


Menurut dia, semakin besar peran Bank Dunia maka semakin besar independensi dari kebijakan negara akan terganggu. Akibatnya, kepercayaan publik juga akan pudar.

"Karena apa, dalam banyak hal kita masih mengandalkan lembaga donor. Padahal, niat kita dan maunya Presiden juga tidak mau bergantung pada lembaga donor," kata Eko.


Keadilan Fiskal


Terkait ketimpangan, Wisnu menyatakan program maksimum penyelesaian kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak lain kecuali keadilan fiskal dengan mencabut subsidi kepada orang superkaya berupa pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI.

Kemudian, mengalihkan dana itu untuk subsidi sektor produksi yang sanggup menarik keluar 40 persen penduduk dari jurang kemiskinan, yakni industri pertanian pangan.


"Keadilan fiskal ini kunci utama selesaikan ketimpangan. Setelah adil baru kita bicara mengenai rencana gradual penyelesaian ketimpangan, tentunya fokus pada ekonomi produksi yang multiplier effect-nya besar ke penduduk miskin," kata Wisnu.


Ia menegaskan apabila pemerintah terus menarik utang baru, akan semakin menjauhkan keuangan negara dari keadilan bagi rakyat Indonesia.

Sebab, pada dasarnya setiap utang baru pasti akan menekan kehidupan rakyat kecil. Sebaliknya, para konglomerat dengan berbagai instrumen baik ekonomi dan politik justru terus bisa memanfaatkan apa pun situasi negara.


Menurut Wisnu, agenda utang juga selalu berbarengan dengan agenda liberalisasi perdagangan yang salah satu elemen utamanya adalah impor, terutama impor pangan yang memiskinkan petani nasional. Ini artinya menyumbang angka kemiskinan dan ketimpangan.YK/ahm/WP

Baca Juga: