>>Persoalan defisit ganda di Indonesia dinilai sudah cukup akut karena terus dibiarkan.

>>Tumpang tindih regulasi jadi persoalan utama yang hambat peningkatan iklim usaha.

JAKARTA - Indonesia dinilai membutuhkan lebih banyak investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/ FDI) untuk memperbaiki defisit ganda, yakni defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan.

Untuk itu, perbaikan iklim investasi perlu terus dilakukan. Sebab, saat ini pengusaha masih mengeluhkan sejumlah hambatan berusaha, seperti konsistensi kebijakan, tumpang-tindih regulasi, dan kepastian hukum.

"Di tengah-tengah tekanan defisit ganda, instrumen yang sustainable adalah investasi di sektor riil atau bersifat direct investment. Kalau investornya di portofolio kurang sustainable," kata ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, di Jakarta, Minggu (29/7).

Menurut dia, persoalan defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan Indonesia sudah cukup akut karena dibiarkan terus terjadi sejak pascareformasi.

"Hanya di Indonesia yang 40 persen surat utang pemerintahnya dikuasai oleh investor asing. Akibatnya, ketika terjadi perubahan kebijakan moneter negara maju, keluarlah dana itu dan membuat defisit transaksi berjalan melebar," ungkap dia.

Neraca transaksi berjalan juga tekor akibat rasio jumlah investor asing di sektor portofolio dan investasi langsung (FDI) masih timpang.

Makanya, yang perlu didorong adalah FDI seperti pembangunan pabrik jangka panjang sehingga uang tidak gampang masuk gampang keluar, lebih tahan gejolak. "Untuk menarik FDI ini butuh kombinasi antara kemudahan perizinan, insentif, dan daya saing tenaga kerja," tutur Heri.

Dia menilai sebenarnya pemerintah sudah mempunyai niat baik untuk memperbaiki iklim investasi yang tecermin dari sejumlah deregulasi dan debirokratisasi yang digulirkan. Tapi, yang dibutuhkan oleh dunia usaha bukan sekadar itu.

"Persoalan di lapangan cukup banyak, sehingga investor wait and see. Sedangkan kalau melihat dari 16 paket kebijakan ekonomi itu arahnya hanya untuk menarik investor baru. Tapi, kebijakan untuk mempertahankan investor yang sudah ada masih minim.

Akibatnya, hasil dari investasi tidak bisa optimal dan terjadi kontraksi atau relokasi," tukas Heri. Dia menegaskan pemerintah harus membuat kebijakan yang konsisten, tidak membingungkan investor karena sedikit-sedikit berubah.

"Akibatnya investor kabur. Perlu juga koordinasi dengan dunia usaha," kata Heri. Sebelumnya, kalangan eksportir kembali menyatakan tumpang tindih regulasi masih menjadi persoalan utama yang menghambat peningkatan iklim usaha di Indonesia.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan lemahnya ekspor nasional saat ini tidak hanya disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global, tetapi juga persoalan rumitnya birokrasi di Indonesia.

"Ya, itu ada beberapa hal, misalnya aturan yang tidak mendukung kegiatan ekspor, policy-nya tidak kondusif, contohnya di KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan)," ungkap dia, pekan lalu.

Selain itu, dia mengemukakan para pengusaha juga mengeluhkan implementasi aturan mengenai Biodiesel yang terlalu lambat sehingga mengakibatkan harga crude palm oil (CPO) tertarik turun. Hariyadi juga menambahkan lamanya restitusi pajak yang membutuhkan waktu lebih dari satu tahun bisa menghambat aliran modal kerja eksportir.

Proyek Infrastruktur

Sementara itu, Managing Partner dari Dentons Rodyk, Philip Jayaretnam, mengemukakan Indonesia merupakan negara ekonomi terbesar di ASEAN yang membutuhkan bantuan dari perusahaan multinasional untuk mengembangkan infrastruktur di Tanah Air.

Menurut dia, salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk menarik investor asing di dalam proyek infrastruktur tersebut adalah mekanisme jaminan pemerintah atau badan khusus penjamin yang memberikan kepastian hukum.

"Kalau sudah ada kepastian hukum dan kemudahan dalam berusaha, sudah pasti investor asing tertarik untuk berinvestasi di Indonesia," tutur dia. ahm/WP

Baca Juga: