Indonesia menempati urutan kedua jumlah kasus tuberculosis di dunia dengan estimasi sebanyak 969.000 kasus atau 354 kasus per 100.000 penduduk.

JAKARTA - Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Maxi Rein Rondonuwu mengungkapkan Indonesia saat ini berada pada urutan kedua jumlah kasus tuberkulosis (TB) di dunia, dengan estimasi sebanyak 969.000 kasus.

"Jumlah tersebut mencapai rataan 354 kasus per 100.000 penduduk, dari target idealnya adalah 65 kasus per 100.000 penduduk," katanya pada acara Apresiasi Studi Uji Klinis UI dan Tim TRUNCATE-TB di Jakarta, Senin (31/7).

Maxi mengatakan Pulau Jawa, Sumatera Utara, dan Sumatera selatan, diestimasi memiliki kasus TB terbesar pada tahun 2021, karena tidak seluruh kasus TB terdeteksi dan tidak seluruh kasus TB yang terdeteksi terobati dengan baik.

Dia mengungkapkan kasus TB yang terkonfirmasi sempat menurun pada 2021 yakni dengan 443.235 kasus, namun jumlahnya melonjak menjadi 724.309 kasus pada 2022 akibat dampak pandemi Covid-19."Saat ini terdapat 386.089 kasus TB yang terkonfirmasi per 18 Juli 2023," ujarnya.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah memiliki berbagai program dalam penanganan TB, salah satunya adalah yang tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, yang salah satu targetnya adalah penurunan angka kematian menjadi enam per 100.000 penduduk pada 2030.

Untuk itu pihaknya telah melakukan berbagai upaya peningkatan akses layanan, seperti penambahan sarana atau jejaring diagnosis TB, penyediaan jumlah logistik TB yang mencukupi dan berkesinambungan, serta perluasan layanan rujukan TB resisten obat (RO).

Meskipun demikian, dia menyebutkan berbagai macam upaya yang dilakukan belum dapat mencapai target, karena banyaknya penderita TB yang belum terdiagnosis.

Oleh karena itu dia berharap agar masyarakat dapat turut terlibat dalam penanganan TB, khususnya TB RO, agar target eliminasi TB di Indonesia dapat tercapai pada 2030.

Praktik Mandiri

Terkait polemik dokter asing, Menkes Budi Gunadi Sadikin, memastikan UU Kesehatan yang baru masih membatasi praktik tenaga kesehatan atau dokter asing. Batasan pertama adalah tenaga kesehatan atau dokter tersebut tidak boleh membuka praktik secara mandiri.

"Di UU ini diatur semua tenaga dokter yang masuk (Indonesia) tetap harus melakukan proses adaptasi, bahkan kita batasi dia tidak boleh praktik mandiri," ujar Menkes, dalam Siniar Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Senin (31/7).

Dia mengatakan, tenaga kesehatan atau dokter yang praktik harus atas kebutuhan institusi yang membutuhkan seperti rumah sakit atau klinik. Batasan kedua, mereka tidak boleh bekerja di luar tempat kerjanya. "Jadi tempat kerja dia hanya boleh satu institusi saja. Dia tidak boleh beberapa institusi," jelasnya.

Menkes menambahkan, batas praktik tenaga kesehatan atau dokter hanya boleh dua tahun. Batasan waktu tersebut mempertimbangkan tenaga kesehatan atau dokter yang harus melakukan transfer teknologi ke tenaga-tenaga medis lokal. "Kita batasi juga dia dua tahun, bisa diperpanjang lagi dua tahun. Kita harapkan, kenapa kita kasih waktu karena nanti ada kewajiban mendidik," katanya.

Dia memastikan, tidak serta merta tenaga kesehatan atau dokter asing bisa masuk ke Indonesia. NMenkes menegaskan, hadirnya UU Kesehatan untuk melindungi tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia. Begitu juga bagi organisasi profesi yang perannya tetap sama dengan UU Kesehatan sebelumnya.

Baca Juga: