Ada kabar mengagetkan pekan lalu. Bank dunia menaikkan status Indonesia dari negara berpendapatan per kapita menengah ke bawah (lower middle income country) menjadi negara dengan pendapatan per kapita menengah atas (upper middle income country).

Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita Indonesia di 2019 naik menjadi 4.050 dollar AS dari posisi sebelumnya 3.840 dollar AS. Angka tersebut menempatkan Indonesia masuk ke dalam upper middle income country, setelah sebelumnya selama 23 tahun masuk dalam kategori lower middle income country.

Dalam klasifikasinya, berdasarkan Gross National Income (GNI) per kapita, Bank Dunia membagi negara-negara ke dalam empat kategori. Pertama, low income dengan pendapatan kurang dari 1.035 dollar AS, kemudian lower middle income dengan pendapatan 1.036-4.045 dollar AS, lalu upper middle income dari 4.046 sampai 12.535 dollar AS, dan terakhir high income dengan pendapatan lebih dari 12.535 dollar AS.

Klasifikasi ini digunakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan suatu negara memenuhi syarat dalam menggunakan fasilitas dan produk Bank Dunia, termasuk loan pricing atau penetapan suku bunga pinjaman.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyambut gembira kenaikan status ini. Karena hal itu bakal meningkatkan kepercayaan dan persepsi investor dan mitra dagang terhadap Indonesia. Kenaikan status ini juga diharapkan dapat memperbaiki kinerja current account, mendorong daya saing ekonomi, dan memperkuat dukungan pembiayaan. Hal itu merupakan buah kerja keras pemerintah dan masyarakat dalam mendorong ekonomi

Kenaikan status ini jelas mengagetkan. Di tengah kepanikan negara mencari anggaran kanan-kiri guna menutup kebutuhan dana pandemi Covid-19, tiba-tiba saja ekonomi Indonesia naik kelas. Tidak kurang 695,2 triliun rupiah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) direalokasikan untuk penanganan Covid-19, termasuk di dalamnya untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sampai-sampai, pemerintah harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) agar besarnya defisit tidak melanggar undang-undang.

Memang, penilaian Bank Dunia ini bukanlah penilaian di tahun 2020, di saat pemerintah susah payah mencari pinjaman guna memenuhi dana penanggulangan Covid-19. Memang, penilaian Bank Dunia ini juga bukan dilakukan di saat ekonomi kita terancam resesi ekonomi sekarang ini. Namun, penilaian Bank Dunia menaikkan status Indonesia menjadi upper middle income di tengah tingginya ketimpangan adalah langkah terlalu terburu-buru dan terlalu berani.

Angka 4.050 dollar AS itu terlalu mepet dengan batas bawah kategori upper middle income, 4.046 dollar AS, hanya selisih 4 dollar AS. Selisih tersebut sangat sensitif turun lagi, terutama jika menggunakan basis data 2020, basis data yang up date. Berbagai analisis menyebutkan, pascapandemi ekonomi kesejahteraan penduduk berpotensi besar turun lagi sehingga status Indonesia bisa kembali ke posisi lower middle income.

Menurut Joe Wadakethalakal dalam artikelnya yang berjudul Empat Wajah Indonesia yang dimuat di Koran Jakarta, Senin (29/6), sebanyak 80 persen pendapatan per kapita penduduk Indonesia hanya 1.045 dollar AS per tahun, membuktikan penilaian Bank Dunia menaikkan Indonesia ke dalam upper middle income bukanlah status riil. Tidak ada yang perlu dibanggakan.

Kenaikan status itu malah mungkin banyak merugikan Indonesia. Indonesia bisa jadi tidak lagi mendapat privilege dalam bentuk bantuan hibah dan atau pinjaman luar negeri berbunga murah dari Bank Dunia. Bisa jadi, status ini akan menjadi acuan bagi lembaga-lembaga pinjaman bilateral untuk memberikan perlakuan setara.

Karena itu, kenaikan status ke upper middle income hendaknya jangan dijadikan sebagai kebanggaan, tetapi sebagai tantangan untuk memperbaiki struktur ekonomi. Sebagai tantangan agar distribusi pendapatan lebih merata. Sebagai tantangan agar 1 (satu) persen kelompok elite tidak lagi menguasai 49 persen kekayaan bangsa. ν

Baca Juga: