Peringkat indeks ketahanan pangan Indonesia ini bisa naik apabila pemerintah meningkatkan kemandirian pangan.

JAKARTA - Peringkat indeks ketahanan pangan Indonesia yang dibuat The Economist Intelligence Unit pada tahun 2019 berada di posisi 62 dari 113 negara, di bawah Singapura, Malaysia, Tiongkok, Thailand, dan Vietnam (lihat infografis). Peringkat Indonesia itu di atas Filipina, India, Myanmar, Kamboja, dan Laos.

"Peringkat indeks ketahanan pangan Indonesia ini bisa naik lagi apabila pemerintah meningkatkan kemandirian pangan," kata Ahli Pertanian UGM Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto saat dihubungi, Selasa (11/2).

Dwijono kemudian menyebut Indonesia perlu melakukan perubahan kebijakan menujua kemandirian pangan yang berdampak luas dan berjangkauan jauh seperti Tiongkok, termasuk transformasi kelembagaan, penyesuaian kebijakan struktural, dan kemajuan teknologi.

"Reformasi kelembagaan Tiongkok dari tahun 1979 hingga 1984 yaitu dekolektivisasi dan alokasi lahan pedesaan telah menyebabkan ledakan kemajuan di sektor pertanian," katanya.

Selain itu, reformasi ekonomi Tiongkok pada tahun 1979 telah mengubah unit produksi dasar dari tim kolektif menjadi pertanian keluarga mandiri yang mengerjakan bidang tanah kontrak sendiri, memberi insentif pada pekerjaan individu dan mengarah pada produksi yang lebih besar.

Sistem serupa telah diadopsi di Indonesia, yaitu pada tahun 2017 meluncurkan program Perhutanan Sosial dengan menawarkan lahan hutan nasional seluas 12,7 juta hektare untuk petani.

Namun, program ini lebih fokus pada penyediaan pekerjaan daripada peningkatan ketahanan pangan dan petani dibebaskan untuk memilih komoditas produksi mereka.

Tetapi, jika pemerintah dapat mengintegrasikan program itu ke dalam tujuan ketahanan pangan negara, masing-masing dari 34 provinsi di Indonesia dapat membantu upaya untuk meningkatkan ketersediaan pangan.

Contohnya, memberi setiap petani hak untuk menanam produk-produk tertentu yang bermanfaat bagi negara lain.

Selain itu, Dwijono mengatakan dalam menghadapi perlambatan ekonomi dunia saat ini, pemerintah seharusnya meningkatkan produksi pangan dalam negeri dan membangun industri substitusi impor.

Sebab, kalau substitusi impor dibangun bukan hanya irit valuta asing, tapi bisa menghasilkan devisa. Bahkan, dana yang tadinya untuk belanja impor menggunakan dollar AS bisa tak perlu lagi. Demikian juga surat utang atau pinjaman tak perlu dilakukan apabila melakukan substitusi impor.

Petani Mesti Difasilitasi

Dwijono menambahkan pemerintah mesti mefasilitasi petani dengan alat berat, bibit, dan pupuk, serta infrastruktur pengairan. Kemudian, hasil pertanian dijual di dalam negeri sehingga pasar menjadi besar dan mudah terserap. "Artinya, dari sawah ke pasar cepat sampainya. Paling utama lagi tidak perlu khawatir harga pangan tertekan karena pemerintah tidak membanjirinya dengan impor," paparnya.

Dihubungi terpisah, Pakar Pertanian UPN Veteran Jawa Timur, Zainal Abidin, mengatakan apabila marjin harga cukup baik, otomatis petani rajin menanam sehingga menjadi kelas menengah. "Sehingga insentif menanam itu besar sekali. Apa yang mereka hasilkan bisa memberikan keuntungan lumayan bagi keluarga petani, sehingga anak petani tersebut akan melanjutkan profesi orang tuanya menjadi petani," katanya.

Zainal menambahkan, paradigma petani gurem harus diubah dengan konsep integrasi horizontal. "Dengan konsep hilirisasi produk primer hingga penerapan industri 4.0. Artinya, singkong bisa jadi gaplek, bisa jadi bioethanol yang akan menyerap tenaga kerja dan memicu pertumbuhan," ujarnya.

Sebelumnya, South China Morning Post menuliskan kondisi lingkungan Indonesia yang sebagian besar merupakan tanah kering, pemerintah dapat belajar dari metode irigasi Tiongkok untuk meningkatkan produksi pertanian dalam jangka pendek.

Dalam jangka panjang, Indonesia dapat mengakhiri kekurangan pangan dengan mengadopsi mekanisasi dan kemajuan teknologi Tiongkok.

SCMP/YK/SB/AR-2

Baca Juga: