JAKARTA - Indonesia seharusnya memiliki data base perasuransian untuk menghadapi dinamika perekonomian global ke depan. Dengan itu industri asuransi bisa melakukan evaluasi dan perencanaan.

Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menyatakan sudah saatnya Indonesia memiliki database (basis data) perasuransian.

"Dari waktu ke waktu, kami berdiskusi baik sesama industri asuransi, maupun dengan asosiasi asuransi perasuransian lain, maupun dengan regulator kita, bahwa sudah saatnya untuk Indonesia memiliki database perasuransian. Entah dibangun oleh regulator kita, entah diberikan mandat kepada asosiasi atau pihak tertentu untuk bangun, kelola," kata dia dalam acara "Outlook Industri Asuransi Jiwa dan Ekonomi Tahun 2024" di Jakarta, Kamis (25/1).

Dengan adanya database perasuransian, lanjutnya, maka akan meningkatkan kemampuan perusahaan dalam melayani dan mempertahankan nasabah, serta memberikan saran maupun tawaran yang semakin tepat kepada masyarakat Indonesia untuk proyeksi sekaligus perencanaan keuangan.

Salah satu cara untuk menciptakan basis data perasuransian adalah dengan Artificial Intelligence (AI) yang disebut belum banyak diterapkan di Indonesia. Upaya tersebut dapat mendukung perusahaan asuransi untuk memudahkan mereka dalam membaca profil seseorang yang mencari produk asuransi, lalu mengetahui produk yang cocok untuk nasabah dalam jangka waktu dan rentang nilai premi tertentu.

"Bahkan, bukan hanya dalam pemasaran produk, tapi juga mungkin dengan artificial intelligence, kita bisa melihat semua nasabah kita yang ada saat ini, katakanlah di satu perusahaan asuransi, nasabahnya ada satu juta, mungkin bisa dilihat dengan kemampuan artificial intelligence-nya, yang mana yang tingkat ketidakpuasannya mulai naik, yang mana yang kebutuhan untuk mencari produk baru itu juga ada, sehingga sebelum terjadi sesuatu, mungkin sudah bisa dikontak terlebih dahulu oleh si perusahaan asuransi untuk menawarkan sesuatu yang lebih baik," ungkap Budi.

Bagi dia, upaya menciptakan AI merupakan pekerjaan rumah (PR) yang sangat besar. Namun, dia percaya Indonesia memiliki bakat-bakat yang mampu menciptakan AI, tetapi mungkin hambatan utama dalam melakukan usaha tersebut terkait dengan mempersiapkan big data dan data security.

"Kalau industri asuransi ini berdiri bersama-sama, datanya banyak, berjuta-juta. Ambil 10-20 tahun terakhir, maka kita bisa melihat behavior pola masyarakat pengguna asuransi gitu ya. Tapi, ketika berdiri sendiri-sendiri, mungkin datanya ada 500 ribu tertanggung, ada yang mungkin 1 juta tertanggung, ada yang mungkin sekian juta tertanggung," ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, ekonom senior Indef Aviliani mengatakan industri asuransi harus menyesuaikan produknya dengan karakteristik pasar. Hal itu karena tantangan ekonomi global ke depan semakin kompleks dan industri harus semakin inovatif.

"Misalnya bagaimana menghadapi karakteristik generasi milenial dan gen z maka produk produk asuransi juga harus mengikuti karakteristik mereka," kata Aviliani.

Baca Juga: