Masalah utama ketahanan pangan Indonesia yakni ketersediaan yang berarti ada permasalahan dengan produksi.

JAKARTA - Indonesia harus mereformasi kebijakan pertanian untuk menghindari kemungkinan masalah ketersediaan pangan terutama kebutuhan pokok. Reformasi tersebut mendesak dilakukan karena Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GSI) Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak berkembang.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, dalam seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2024 di Jakarta, Rabu (6/12), mengatakan tidak berkembangnya GFSI Indonesia lima tahun terakhir mengindikasikan kemungkinan Indonesia menghadapi permasalahan penyediaan kebutuhan pokok.

Disebutkan, skor GFSI Indonesia pada 2018 berada pada level 62,4 lalu menurun ke level 60,4 pada 2019, kemudian sedikit meningkat ke level 61,4 pada 2020, kembali menurun ke level 59,2 pada 2021, dan naik tipis ke level 60,2 pada 2022 lalu.

Terdapat beberapa komponen, jelas Fadhil, dari indeks ketahanan pangan yang diterbitkan oleh Economist Impact tersebut, antara lain masalah keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas (quality), keamanan (safety), keberlanjutan (sustainability), dan adaptasi (adaptation).

Dari seluruh komponen, masalah utama yang dihadapi ketahanan pangan Indonesia yakni ketersediaan, sedangkan untuk keterjangkauan justru lebih baik dari komponen yang lain. "Kalau menyangkut ketersediaan pangan maka di masyarakat ada permasalahan dengan produksi bahan pangan itu," katanya.

Menurut Fadhil, ada dua kemungkinan penyebab kurangnya produksi pangan di Indonesia, yakni produktivitas yang rendah serta keterbatasan ekspansi areal pertanian.

Oleh karena itu, salah satu agenda Indonesia ke depan di sektor pertanian yang perlu dilakukan pemerintah yakni perluasan areal pertanian. Sebab, areal pertanian kini sangat terbatas akibat dari konversi lahan.

Selain itu, untuk meningkatkan produktivitas yang rendah di sektor pertanian, peranan lembaga riset dan pengembangan menjadi penting.

Perbaiki Irigasi

Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan untuk meningkatkan produksi pertanian agenda utama yang harus dilakukan pemerintah adalah segera memperbaiki irigasi di Jawa. Data dari PUPR, menurut Dwijono, hampir 60 persen jaringan irigasi di Jawa rusak.

"Produktivitas rendah itu penyebab utamanya adalah jaringan irigasi. Kalau jaringan irigasi baik maka setahun bisa menanam padi lebih dari dua kali. Secara umum, irigasi itu meningkatkan produktivitas pertanian hingga 30 persen," kata Dwijono.

Setelah memprioritaskan pembangunan infrastruktur jalan tol, pemerintahan baru ke depan harus memberi porsi pembiayaan yang lebih besar untuk pembangunan kembali jaringan irigasi. Jaringan irigasi, katanya, makin mendesak karena perubahan iklim membuat maju dan mundurnya musim hujan, sehingga semakin sulit diprediksi. Apalagi, pemerintah sudah banyak membangun bendungan. Bendungan tersebut akan percuma kalau tidak didukung oleh jaringan irigasi yang baik.

Peningkatan produktivitas, katanya, juga bisa dilakukan dengan penyediaan bibit unggul. Menurut Dwijono, bibit unggul menyumbang peningkatan produktivitas sebesar 25-30 persen. Penyediaan bibit unggul bisa dilakukan pemerintah dengan bekerja sama dengan kampus-kampus pertanian di Indonesia.

"Kampus pertanian kita seperti UGM sudah punya banyak bibit unggul, tinggal bagaimana persebarannya dan sosialisasinya," kata Dwijono.

Langkah terakhir untuk meningkatkan produktivitas pertanian adalah dengan penyediaan tenaga penyuluh pertanian.

Sementara itu, pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan reformasi pertanian tidak hanya memperluas produksi pertanian melalui teknologi baru, perubahan kelembagaan, dan restrukturisasi pasar, tetapi juga diversifikasi produksi dan konsumsi pangan.

"Indonesia perlu mengubah kebijakan yang bisa berdampak luas dan jangkauannya jauh. Reformasi pertanian seperti itu perlu dilakukan mengingat kita akan semakin dihadapkan dengan keterbatasan lahan, dan distribusi sumber daya air yang tidak merata," kata Ramdan.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, ketahanan pangan tetap menjadi masalah jika masih mengandalkan impor. Sebab itu, perlu diversifikasi produksi dan konsumsi pangan dengan tanaman subtitusi.

Baca Juga: