JAKARTA - Lolosnya perjanjian dagang antara Indonesia dengan beberapa negara Eropa pada referendum yang berlangsung di Swiss, Senin (7/3) waktu setempat, membuka peluang bagi ekspor RI.

Perjanjian yang dikenal dengan Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia EFTA-CEPA) itu akan memudahkan produk ekspor Indonesia masuk ke Swiss, serta negara EFTA lainnya, yaitu Liechtenstein, Norwegia, dan Islandia.

Dalam referendum tersebut, sebanyak 51,6 persen dari 2,7 juta penduduk Swiss yang memberi suara setuju diberlakukannya pasar perdagangan bebas terhadap komoditas Indonesia di negara-negara tersebut dan sebaliknya.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (9/3), mengatakan keputusan tersebut akan mendukung kelancaran komoditas Indonesia masuk dan bersaing di pasar Eropa.

Perjanjian tersebut mencakup perdagangan barang, jasa, investasi, serta peningkatan kapasitas. Produk Indonesia akan mendapatkan akses pasar berupa konsesi penghapusan dan pengurangan tarif menjadi lebih kompetitif ke pasar EFTA.

Indonesia akan mendapatkan penghapusan 7.042 pos tarif Swiss dan Liechtenstein, 6.338 pos tarif Norwegia, dan 8.100 pos tarif Islandia. Total ekspor Indonesia ke pasar EFTA pada 2020 mencapai 3,4 miliar dollar AS dengan neraca dagang surplus sebesar 1,6 miliar dollar AS.

"Dengan melihat persentase yang setuju selisihnya sangat kecil dibanding yang tidak setuju, maka ke depan, Indonesia harus mengembangkan komoditas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta tidak eksploitatif," kata Pingkan.

Daya Saing

Sementara itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan Indonesia tidak akan mendapat manfaat dari kemitraan tersebut jika daya saing produk masih rendah.

Komoditas pertanian dan perkebunan yang diekspor Indonesia selama ini masih dalam bentuk mentah. Untuk mengekspor pun membutuhkan sustainable certification dari Eropa dan AS seperti pada komoditas kopi dan kakao.

"Lebih menguntungkan jika Indonesia bisa mengekspor komoditas itu bukan dalam bentuk mentah, tetapi sudah diolah, sehingga ada value added," kata Esther.

Selain itu, eksportir harus mulai mengirim barang intermediate, bukan raw goods agar mendapat nilai tambah.

n ers/E-9

Baca Juga: