» Pemanasan global, jelasnya, telah berdampak pada perubahan pola curah hujan di Indonesia.

» Hutan mangrove juga harus dipulihkan karena perannya sangat vital menyerap karbon.

JAKARTA - Indonesia dituntut memainkan peran ganda dalam isu perubahan iklim. Sebab, selain sebagai penerima dampak akibat perubahan iklim, RI juga harus mampu memberi solusi pada upaya mengurangi emisi karbon.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Senin (27/9), mengatakan komitmen Indonesia pada program perubahan iklim sudah ada sejak penandatanganan Paris Agreement. Namun demikian, komitmen itu belum diikuti dengan eksekusi yang baik dan terukur di lapangan.

Tekad Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membawa Indonesia menuju energi bersih harus direspons serius oleh kementerian teknis dalam bentuk kebijakan yang mengarah pada penggunaan energi bersih yang masif.

"Antarkementerian harus bersinergi, tidak boleh mengedepankan ego sektoral karena dampak pemanasan global di Indonesia menyebabkan suhu permukaan meningkat dari 0,2 menjadi 0,3 derajat Celsius per dekade," kata Esther.

Pemanasan global, jelasnya, telah berdampak pada perubahan pola curah hujan di Indonesia. Iklim lebih basah di wilayah Sumatera dan Kalimantan, tetapi musim kemarau di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

"Penurunan curah hujan selama waktu-waktu kritis dapat meningkatkan risiko kekeringan yang tinggi, sementara peningkatan curah hujan selama musim hujan menyebabkan risiko banjir yang tinggi," tegas Esther.

Perubahan iklim di Indonesia juga akan menghasilkan peristiwa El Niño/ La Nina yang lebih sering sehingga memperburuk tren kekeringan dan banjir. Kondisi tersebut menyebabkan penurunan produksi pangan dan ancaman kelaparan meningkat.

Dampak perubahan iklim juga menyebabkan penurunan yang signifikan akan larva ikan dan perubahan skala besar pada habitat ikan, seperti cakalang. Sedangkan pemutihan karang besar-besaran menyebabkan hilangnya terumbu karang dan keanekaragaman hayati secara luas, termasuk ikan yang jadi sumber protein bagi masyarakat sekaligus mata pencarian nelayan.

Di darat, kebakaran hutan yang lebih sering memiliki dampak signifikan terhadap habitat dan keanekaragaman hayati satwa liar Indonesia dan diterjemahkan menjadi konsekuensi polusi ekonomi dan domestik yang serius serta lintas batas.

Dampaknya terhadap kesehatan manusia juga tak terhindarkan. Ada gelombang panas yang lebih sering dan parah, banjir, peristiwa ekstrem dan jangka panjang yang menyebabkan peningkatan cedera, penyakit, dan kematian.

"Penyakit, seperti malaria, demam berdarah, diare, dan masalah pernapasan parah kerap muncul yang menyebabkan biaya kesehatan semakin membengkak," katanya.

Sebab itu, langkah-langkah Indonesia memprioritaskan penanganan kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan ancaman terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati menjadi pilihan tepat.

"Bahan bakar fosil dari minyak dan batu bara harus diganti dengan energi bersih. Harus ada perubahan besar-besaran ke energi terbarukan, termasuk energi matahari, angin, gelombang, dan bahan bakar bio," tegas Esther.

Hutan "Mangrove"

Secara terpisah, Kepala Laboratorium Pengendalian Pencemaran Udara dan Perubahan Iklim, Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Eng Arie Dipareza Syafei, mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo yang berkomitmen untuk memitigasi perubahan iklim di dunia, salah satunya dari sisi lingkungan yaitu pemulihan hutan mangrove.

"Tentu positif jika Indonesia berkomitmen untuk memulihkan hutan mangrove karena perannya sangat besar dalam menyerap karbon. Hanya, ini perlu didukung dengan program yang terus dikawal oleh tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dibantu dengan peran serta masyarakat," kata Arie.

Untuk menyukseskan upaya itu, kata Arie, pemerintah perlu melibatkan masyarakat luas, terutama di kawasan pesisir yang menjadi stakeholder penting dari keberadaan hutan mangrove.

Baca Juga: