The Fed merevisi penurunan suku bunga FFR pada 2025 dari 100 bps sebelumnya menjadi hanya turun 75 bps.

JAKARTA - Ketidakpastian ekonomi global harus benar-benar dicermati dan disikapi dengan benar agar tidak salah perhitungan terutama dalam memutuskan kebijakan di sektor keuangan atau moneter. Inflasi yang hampir menjadi momok bagi semua negara memaksa otoritas moneter mereka menaikkan suku bunga agar kondisi tidak semakin parah.

Bank sentral Turki misalnya atau yang dikenal dengan The Central Bank of the Republic of Turkey (CBRT), pada hari Kamis (21/3), menaikkan suku bunga utamanya, repo rate satu minggu, dari 45 persen menjadi 50 persen, dengan alasan adanya kebutuhan yang berkelanjutan untuk melawan kenaikan inflasi di negara tersebut.

"Pada bulan Februari, didorong oleh inflasi jasa, tren inflasi bulanan lebih tinggi dari perkiraan," kata Komite Kebijakan Moneter bank tersebut dalam sebuah pernyataan setelah keputusan tersebut.

Bahkan, negara dengan ekonomi terbesar dunia Amerika Serikat (AS) sudah diprediksi kalau otoritas moneternya Federal Reserve akan tetap mempertahankan suku bunga kebijakannya Fed Funds Rate (FFR) di level 5,25 persen sampai dengan 5,50 persen pada rapat Federal Open Market Committee bulan Maret 2024.

Namun demikian, mereka juga merevisi stance penurunan suku bunga hanya sebesar 75 basis poin (bps) pada 2024, meskipun indikator ekonomi AS tetap solid dan perkembangan disinflasi melambat.

The Fed merevisi penurunan suku bunga pada 2025 dari penurunan suku bunga sekitar 100 bps menjadi penurunan suku bunga 75 bps. Mereka juga merevisi target FFR jangka panjang menjadi 2,6 persen dari 2,5 persen, yang mengindikasikan bahwa beberapa anggota FOMC memperkirakan kondisi perekonomian AS cenderung lebih solid terhadap tingkat suku bunga kebijakan yang relatif tinggi.

Dari kondisi tersebut, otoritas moneter yaitu Bank Indonesia (BI) semestinya mencermati inflasi, terutama kenaikan harga bahan pangan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Rupiah bakal gawat kalau otoritas moneter keliru dalam mengambil stance kebijakan moneter.

Apalagi kalau melihat komposisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin susah dipertahankan. Sebab, alokasi anggaran bukan untuk membiayai kegiatan petani supaya bisa meningkatkan produksi, tapi malah balik lagi ke pembiayaan yang konsumtif seperti rencana membagi-bagikan makan siang gratis.

Kalau otoritas moneter Turki saja menaikkan tingkat suku bunga acuan ke level 50 persen, bagaimana dengan Bank Indonesia. Turki yang lebih maju saja bisa salah urus, bagaimana dengan Indonesia.

Beras Belum Turun

Guru Besar Fakultas Bisnis dan Ekonomi (FBE) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, yang diminta pendapatnya, mengatakan bagi Indonesia, kemampuan mempertahankan suku bunga akan sangat terkait dengan keberhasilan menjaga resiliensi indikator-indikator ekonomi lainnya.

Dari sisi inflasi, angka sasaran dari Bank Indonesia adalah 2,5 persen (+/- 1 persen). Sampai saat ini, harga pangan khususnya beras, belum turun dan selama beberapa bulan terakhir memberikan kontribusi besar dalam inflasi.

"Artinya, pengendalian harga beras menjadi krusial, namun secara bersamaan janji pemerintah untuk menurunkan harga beras belum tampak terealisasi. Bahkan, ada kemungkinan harga beras tidak bisa lagi turun.

"Dengan demikian, ada sisi rentan inflasi bisa meningkat dan jika kenaikannya melampaui angka sasaran, pada gilirannya dapat mendorong kenaikan suku bunga acuan," kata Aloysius.

Selain itu, juga perlu memperhatikan lalu lintas modal di mana hingga pertengahan Maret 2024, Indonesia masih mencatat net inflows, namun secara bersamaan juga terjadi outflows.

Aliran keluar ini di satu sisi karena ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi, tetapi ini juga bisa merefleksikan ada ketidakyakinan dan ketidaknyamanan pelaku pasar terhadap agenda-agenda pemerintahan mendatang.

"Dalam hal ini, kedisiplinan dalam mengelola defisit fiskal akan sangat menentukan respons pelaku pasar," tandas Aloysius.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan Indonesia masih bisa menjaga inflasi asal tidak blunder mengurus APBN.

"Program pembangunan harus lebih produktif untuk kendalikan inflasi," tegasnya.

Baca Juga: