» Sebagai salah satu importir pangan terbesar di dunia, Indonesia akan selalu terpapar risiko impor dan politik proteksionisme pangan global.
» Sekali harga beras naik, kemiskinan akan naik, apalagi luasan lahan panen menyusut akibat krisis iklim.
JAKARTA - Indonesia berpotensi menjadi negara importir beras terbesar di dunia jika melihat ketahanan pangan nasional tahun ini yang kian rapuh. Potensi itu terlihat pada proyeksi neraca beras nasional 2024 yang dimutakhirkan pada Mei lalu, di mana Indonesia akan mengimpor beras hingga 5,17 juta ton sepanjang 2024.
Kalau itu terjadi maka bebannya ke perekonomian akan semakin berat. Selain menghabiskan devisa negara, juga berpotensi menyebabkan inflasi beras karena harga di pasar global cenderung naik. Akibatnya, masyarakat kelas menengah bawah semakin terpukul daya belinya akibat lonjakan harga beras.
Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, dalam keterangan resminya di Jakarta baru-baru ini, mengatakan realisasi impor beras pada Januari hingga April 2024 tercatat sudah mencapai 1,77 juta ton. Sementara rencana impor pada Mei hingga Desember 2024 sebanyak 3,40 juta ton. Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena impor beras pada 2023 lalu hanya tercatat 3,06 juta ton.
Bila realisasi impor beras sesuai proyeksi maka impor beras tahun ini akan menjadi rekor impor beras terbesar, melampaui impor beras tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton. "Angka ini juga akan menjadikan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor beras sekitar empat juta ton setiap tahunnya," katanya.
Dengan menjadi salah satu importir pangan terbesar di dunia maka Indonesia akan selalu terpapar risiko impor dan politik proteksionisme pangan global. Kebergantungan pada pasar pangan global akan memunculkan kerentanan tinggi pada ketahanan pangan nasional, terutama ketidakpastian pasokan dan harga pangan internasional.
Pada 2023, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras. Sebanyak 93 persen impor berasal dari tiga negara saja, yaitu Thailand 45,1 persen, Vietnam 37,5 persen, dan Pakistan 10,1 persen. Situasi itu menunjukkan betapa rentannya ketahanan pangan Indonesia terhadap fluktuasi harga dan pasokan yang bergantung dari beberapa negara saja.
Dia mengakui, proyeksi impor besar-besaran itu terjadi akibat jatuhnya produksi beras nasional tahun ini secara signifikan. Produksi beras pada Januari hingga Juli 2024 diperkirakan anjlok hingga 13,3 persen atau setara 2,47 juta ton, dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Jatuhnya produksi beras nasional di semester pertama 2024 ini menguatkan kecenderungan penurunan kapasitas produksi beras nasional dalam enam tahun terakhir," katanya.
Sejak 2018, produksi beras nasional cenderung menurun secara persisten. Pada 2018, produksi beras nasional masih mencapai 33,9 juta ton, namun kemudian turun menjadi hanya 30,9 juta ton pada 2023.
Penurunan produksi itu, otomatis akan berdampak pada kenaikan harga beras yang telah berlangsung sejak 2022 lalu. Kenaikan harga beras itu bukan semata disebabkan oleh faktor El Nino atau kekeringan, tetapi juga ada faktor lain.
"Kenaikan harga beras yang persisten dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya masalah struktural yang serius," katanya.
Pada awal 2022, rata-rata harga beras tercatat hanya di kisaran 11.750 rupiah per kg, kemudian awal 2023 merangkak naik di kisaran 12.650 rupiah per kg. Di awal 2024, harga beras mencapai 14.550 rupiah per kg dan kini di medio 2024 telah mencapai kisaran 15.350 rupiah per kg.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Masyhuri, yang diminta tanggapannya mengatakan situasi saat ini jelas bertentangan dengan amanat UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
"Pemerintah meski ada upaya, tapi jauh dari cukup untuk bisa menjalankan amanat UU Pangan yakni kecukupan produksi dalam negeri," kata Masyhuri.
UU Pangan dengan tegas mengamanatkan pentingnya kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Dalam Pasal 1 Ayat (1), UU Pangan mendefinisikan kemandirian pangan sebagai kemampuan negara dalam memproduksi pangan yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
"Kebergantungan pada impor beras dalam jumlah besar jelas menunjukkan bahwa kita belum mencapai kemandirian pangan yang diamanatkan," katanya.
Impor juga menempatkan Indonesia pada risiko ketidakpastian pasokan dan fluktuasi harga di pasar internasional.
Jatuh Miskin
Pada kesempatan terpisah, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan kenaikan harga beras mengkhawatirkan karena kelompok pengeluaran menengah rentan bisa mudah jatuh di bawah garis kemiskinan. Hal itu karena kontribusi beras terhadap inflasi maupun garis kemiskinan cukup besar.
"Sekali harga beras naik, kemiskinan akan naik, apalagi melihat luasan lahan panen menyusut akibat krisis iklim," kata Bhima.
Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah agar tidak bermimpi jadi negara maju 2045 kalau tekanan harga beras saja sudah bisa membuat Indonesia terjebak di middle income trap lebih lama karena konsumsi rumah tangga tersedot untuk membeli beras.
"Naiknya harga beras bisa mengurangi porsi biaya pendidikan, perumahan, dan kesehatan," paparnya.
Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan fenomena penurunan produksi juga terjadi karena konversi lahan produktif sekitar 100 ribuan hektare per tahun.
"Anggaran 954 triliun rupiah selama 10 tahun terakhir ini juga tidak berdampak positif pada pertanian dan petani kita. Penurunan produksi juga diiringi dengan kebijakan impor yang merugikan petani," paparnya.