Ingat, bank itu bukan pemilik dana. Uang dari rakyat harus disalurkan ke rakyat. Kenapa intermediasi perbankan malah disalurkan ke oligarki dan konglomerasi.

JAKARTA - Perbankan di Indonesia dinilai jauh sekali dari fungsinya, yaitu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional guna meningkatkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Dengan fungsi itu, penyaluran perbankan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) seharusnya memperoleh porsi yang terbesar karena sektor tersebut memberi kontribusi sekitar 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap 97 persen dari total negara kerja.

Kenyataanya, porsi penyaluran kredit ke UMKM baru sekitar 20 persen. Penyaluran kredit malah banyak diberikan ke grup-grup bisnis besar untuk sektor properti dan kredit konsumtif.

Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, kepada Koran Jakarta, Kamis (13/4) mengatakan bahwa perbankan hanya mementingkan keuntungan bagi dirinya sendiri dan mirisnya perbankan justru dianakemaskan terus oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kemenkeu. Padahal jika ada apa-apa rakyatlah yang harus menanggungnya.

Menurut Hardjuno, konstitusi jelas-jelas menyatakan bahwa Indonesia mesti membangun ekonomi kerakyatan. Segala sumber daya harus dikerahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tapi faktanya, di Jabodetabek saja ada sekitar 100 mall yang dibangun dari kredit perbankan sementara pasar rakyat dibiarkan jalan sendiri tanpa sokongan yang memadai.

Perbankan tidak pernah didorong untuk belajar dari kenyataan krisis ekonomi 1998. Sebaliknya malah dibiarkan mengulangi pengelolaan perbankan di masa Orde Baru, yaitu dana perbankan banyak mengalir ke pemilik bank dan para konglomerat.

"Ingat, bank itu bukan pemilik dana. Uang dari rakyat harus disalurkan ke rakyat. Kenapa intermediasi perbankan malah disalurkan ke oligarki dan konglomerasi. Independensi BI dan OJK itu tujuannya untuk terhindar dari oligarki dan konglomerasi. Lha ini malah digunakan untuk membesarkan oligarki dan konglomerat. Kalau ini tidak dibenahi secara masif, jangan harap Indonesia bisa lepas dari fail state. Siklus kehancuran bank itu sudah terlihat. Jangan bilang perbankan kita kuat, Credit Suisse Bank saja bisa collapse, " tandas Hardjuno.

Pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan, independensi BI harus lebih berpihak pada ekonomi yang bersifat kerakyatan untuk tujuan pemerataan dan kesejaheraan. Penggunaan hak istimewa tersebut untuk oligarki merupakan tindakan penyalahgunaan.

Jika indepedensi BI dalam kebijakan hanya ditujukan pada kelompok tertentu, justru akan mendorong terciptanya ketimpangan ekonomi dan sosial. Jadi ketimpangan bukan hanya karena pembangunan terpusat di daerah tertentu saja, keberpihakan yang salah juga akan menimbulkan dampak yang luas.

Penyalahgunaan seperti ini justru membuat independensi yang dimiliki semakin jauh dari tujuan keadilan dan pemerataan ekonomi. Agar ekonomi lebih adil dan merata, masyarakat kelas bawah harus mendapat modal untuk meningkatkan kualitas hidupnya. "Independensi seharusnya digunakan seluas-luasnya untuk memberi kesempatan pada semua warga termasuk yang memiliki pendapatan rendah, agar bisa menikmati kehidupan yang layak," tutur Dian.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi menegaskan BI sebaiknya memposisikan diri betul-betul independen agar upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas moneter berjalan dengan baik.

Sudah seharusnya BI menjaga netralitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dengan fokus pada upaya mencapai target untuk UMKM yang saat ini masih di kisaran 20 persen dari total kredit perbankan dan angka tersebut di bawah target yang ditetapakan Presiden yaitu 30 persen pada tahun 2024.

Masyarakat dapat menguji netralitas BI dalam penerapan srategi percepatan penyaluran kredit bagi UMKM, apakah berpihak pada UMKM atau konglomerat, misalnya dengan menggunakan skema multichannel financing, karena skema ini terhubung dengan korporasi. Dalam skema ini diupayakan untuk meringankan debitur karena adanya jaminan dari mitra. Diharapkan skema ini efektif untuk memperkuat peyaluran kredit ke UMKM.

Sangat Tidak Adil

Kenapa BI harus betul-betul berpihak pada UMKM, karena UMKM memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian Indonesia. Dengan jumlah UMKM saat ini yang mencapai 64,2 juta BI mencatat kontribusi UMKM terhadap PDB sebesar 61,07 persen atau senilai 8.573,89 triliun rupiah, sementara itu nilai kredit yang disalurkan UMKM di Indonesia terhadap PDB nasional sebesar 7 persen. Artinya akan sangat tidak adil jika BI tidak berpihak pada UMKM.

Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalbar, Siprianus Jewarut meminta agar independensi BI tidak disalahgunakan dengan berpihak pada oligarki dan mengabaikan UMKM. "Presiden gak bisa diam. Ini kesalahan fatal yang diulang ulang. Krisis perbankan itu karena penyalahgunaan wewenang kepada kepentingan kelompok. Ini kesalahan dasar yang terus dilakukan dari rezim ke rezim,"tegasnya.

Baca Juga: