oleh syaefudin simon

Kong Hu Cu menyatakan, yang hidup akan bersifat luwes seperti air mengalir di bebatuan. Ia berkelok, kadang jatuh, lalu naik, terus mengelilingi yang mengadang. Setelah itu, ia akan mengalir sesuai kodratnya. Air perkasa karena fleksibel.

Itulah perumpamaan hukum Islam di mata para ulama ushul fiqih. Luwes gandes seperti air, tapi kuat dan bisa menjebol karang setangguh apa pun, semata-mata mewujudkan rahmatan lilalamiin.

Keluwesan seperti air itulah pemikiran KH Maemun Zubair (Mbah Moen). Dalam sebuah ceramah, dia menyatakan Islam itu ya Pancasila. Pancasila ya NKRI. NKRI ya Islam. Ketiganya tidak bisa dipisahkan.

Pinjam istilah KH AR Fachrudin, Ketum PP Muhammadiyah (1968-1990), ulama sudah bersepakat bahwa Indonesia berdasarkan ketuhanan. Semua agama diberi ruang kebebasan menjalankan ibadahnya. Semua diikat dalam kesepakatan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah refleksi Piagam Madinah untuk membangun suatu negara dari berbagai macam agama, suku, dan adat-istiadat.

Dalam konteks inilah, kita mengenang peran seorang ulama ahli ushul fiqih seperti KH Maimun Zubair. Terbayangkah, jika saat itu para ulama yang duduk di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak menggunakan ushul fiqih dalam menentukan bentuk dan dasar negara?

Apa yang terjadi sekarang? Mungkin tak akan ada Indonesia. Wakil-wakil Kristen dari Timur, misalnya, mengancam akan mendirikan negara sendiri, jika pihak Islam mengharuskan tercantumnya tujuh kata dalam Pembukaan UUD 45.

Soal tujuh kata itu, Bung Hatta menceritakan dalam memoarnya dengan bagus sekali. Usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Jumat siang, pada sore hari, Bung Hatta menerima telepon dari Nishijima, asisten Laksmana Maeda, petinggi Angkatan Laut Jepang. Nishijima menanyakan apakah Hatta bisa menerima seorang opsir Angkatan Laut Jepang. Hatta mengiyakan.

Opsir itu menyampaikan berita, "Wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang, sangat keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Mereka menyadari bagian kalimat itu tidak mengikat mereka. Hanya mengenai kaum muslim. Namun tercantumnya ketetapan seperti itu di Undang-Undang Dasar bisa dimaknai sebagai diskriminasi terhadap minoritas. "Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia," tulis Hatta dalam memoarnya.

Keputusan diambil. Pada 18 Agustus 1945 pagi, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dimulai, Hatta menggamit Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk menggelar rapat pendahuluan. Empat orang itu perwakilan kalangan Islam di PPKI.

Sepakat

Pesan opsir itu disampaikan Hatta. Akhirnya mereka sepakat mengubah frasa itu dan menggantinya dengan 'Ketuhanan Yang Maha Esa.' Hatta mengenang, "Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu tanda, para pemimpin tersebut benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa."

Kesepakatan 5 orang itu mulus dalam rapat PPKI. UUD 1945 disahkan. Tujuh kata dalam Pembukaan UUD 45 (yang kemudian disebut Piagam Jakarta itu) resmi dihapus.

Bung Hatta dan kawan-kawan memakai pedoman ushul fiqih yang "menolak mafsadah (kerusakan) didulukan daripada mengambil kemaslahatan." Paham inilah yang dipakai Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan dalam rapat PPKI. Mereka rela melepaskan tujuh kata tersebut. NKRI pun terbentuk dari Sabang sampai Marauke.

Jika hari-hari ini, ada sebagian umat Islam yang dengan "gagah berani" menghancurkan patung, merobohkan rumah ibadah agama lain," mereka jelas orang yang tidak memahami ushul fiqih. Lucunya, mereka dengan garang menyatakan, inilah perintah Allah. Padahal, itulah larangan Allah. Mereka tertipu nafsunya karena kebodohannya.

Karena berasal dari Jazirah Arab, mau tidak mau, banyak hukum fiqih Islam berorientasi pada budaya Arab. Dalam kasus inilah, ushul fiqih memberi jalan keluar: al-aadatu muhakkamah (adat bisa menjadi referensi hukum). Dasar hukum fiqih inilah yang melandasi NU mengusung Islam Nusantara yang kaya budaya.

Sunan Bonang, ketika menyebarkan Islam di Kudus, misalnya, mengharamkan orang Islam memotong sapi untuk kurban. Karena saat itu, di Kudus masih banyak orang Hindu yang menghormati sapi sebagai hewan suci. Jika saat itu Sunan Bonang menghalalkan penyembelihan sapi untuk kurban, niscaya orang Hindu akan marah terhadap Islam.

Sejarawan Belanda, Karl Steinbrink, memuji keluwesan dakwah Islam Sunan Bonang tersebut, sehingga wilayah Pati dan Kudus kini menjadi pusat Islam Jateng. Hari-hari ini, perdebatan bagaimana harus menutup aurat wanita sesuai bunyi ayat-ayat Alquran masih terus jadi.

Ada yang mendefinisikan jilbab secara konvensional, yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Ada yang melihat secara modern, pakaian yang sopan, sesuai dengan tatakrama, dst. Dalam konteks inilah, ushul fiqih akan bicara.

Lihat saja busana istri para ulama besar. Seperti istri KH Hasyim Asyarie, Ahmad Dahlan, Abdurrahman Wahid, dan Qurais Shihab. Mereka menguasai ushul fiqih sehingga "tidak ribet" memberi hukum berbusana muslim. Kebaya dengan kerudung dan gelung rambut, misalnya, yang merupakan busana adat Jawa sudah cukup mewakili busana muslim.

Itulah adat berbusana Jawa yang memenuhi sopan santun. Hal itu sudah sesuai dengan ajaran Islam yang mengacu ushul fiqih tadi. Fiqih Islam, berdasarkan ushul fiqih, sangat luwes karena untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Itulah sebabnya, jika orang Islam kelaparan di dalam hutan dan hanya menemui babi untuk menyelamatkan hidupnya, maka daging babi yang haram itu halal baginya.

Sebaliknya, jika orang kaya makin daging kambing, ssedang di hadapannya ada orang kelaparan, maka makanan halal tersebut haram baginya karena dalam ushul fikih ada dua premis yang sangat humanis. Pertama, dalam keadaan sempit, hukum terhadap sesuatu sangat luas (ringan). Sebaliknya, dalam keadaan lapang, hukum terhadap sesuatu sangat sempit (ketat). Dua contoh makan babi dan kambing tadi, pas untuk aplikasi kedua premis tersebut.

Bangsa Indonesia telah kehilangan salah seorang ulama ushul fiqih hebat. Ketua Majelis Syariah PPP yang lahir 28 Oktober 1928 meninggalkan kita di Mekah. Kegigihan Mbah Mun dalam menegakkan NKRI berdasarkan Pancasila, baik melalui jalur dakwah maupun politik, patut diteladani. Penulis Tenaga Ahli Fraksi PPP DPR

Baca Juga: