Indonesia berada di gelombang empat Covid-19 yang diperkirakan kasusnya memuncak pada Agustus atau September 2022.

JAKARTA - Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengemukakan laju kasus Covid-19 menuju puncak gelombang keempat di Indonesia bergerak lambat. Hal ini terjadi karena virus korona harus melalui orang yang sudah memiliki imunitas berkat imunisasi.

"Masa rawan di Indonesia saya prediksi sampai Oktober 2022. Bukan berarti banyak kematian. Varian baru Covid-19 terus bermunculan. Saat ini, varian yang sedang mendominasi di kalangan pasien adalah BA.4, BA.5, dan BA.275," kata Dicky yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin (8/8).

Menurut Dicky, Indonesia masih berada di gelombang empat Covid-19 yang diperkirakan kasusnya memuncak pada Agustus atau September 2022.

Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memprediksi gelombang pandemi Covid-19 subvarian Omicron di Indonesia memuncak pada akhir Juli 2022, karena didasari atas pengamatan situasi serupa di Afrika Selatan sebagai titik awal penyebaran varian Omicron di dunia.

"Tapi kalau lemah di testing, tracing, dan treatment (3T), mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas (5M), serta vaksinasi, pada gilirannya akan mengancam jiwa kelompok paling rawan," katanya.

Kelompok rawan tersebut, seperti lansia, tenaga kesehatan, komorbid, ibu hamil dan anak. Dicky mengatakan varian BA.275 harus diwaspadai, sebab hadir di tengah gelombang empat, meskipun belum menggeser dominasi BA.5. "Jumlah (BA.275) setidaknya 2 persen dari yang dites genom sekuensing," katanya.

Terus Bermutasi

Melihat virus yang terus bermutasi, Dicky mengaku sulit memperkirakan kapan Covid-19 akan menjadi penyakit influenza biasa. Hal yang dapat memengaruhi SARS-CoV-2 menjadi penyakit influenza biasa, antara lain stigma, obat, karakter, dan sifat virus.

"Dahulu, demam typoid amat ditakuti, namun stigma itu kemudian berubah karena kehadiran obat. Tidak ada kematian, karena obatnya ada. Sekarang obat selain mahal, masih terbatas dan belum memadai," ujarnya.

Dicky mengatakan Covid-19 terus bermutasi melahirkan varian baru dan mengurangi efikasi vaksin. Kondisi itu tidak bisa diatasi hanya dengan vaksinasi dan obat, melainkan perlu pendekatan 3T dan 5M. "Perilaku hidup bersih dan sehat harus jadi budaya baru. Itu yang mengurangi potensi virus bermutasi," katanya.

Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 melaporkan jumlah warga Indonesia yang telah menerima vaksinasi Covid-19 dosis penguat atau booster mencapai total 57,5 juta jiwa hingga Senin pukul 12.00 WIB.

Data Satgas Covid-19 yang diterima di Jakarta menginformasikan jumlah penduduk yang telah mendapat suntikan tiga dosis vaksin Covid-19 bertambah 78.510 orang, sehingga mencapai total 57.525.431 orang. Penerima dosis penguat itu setara 27,6 persen dari total warga yang menjadi sasaran vaksinasi Covid-19, sebanyak 208.265.720 orang.

Sementara itu, penduduk yang mendapatkan dua dosis vaksin Covid-19 bertambah 15.324 orang menjadi 170.314.128 orang, atau setara 81,7 persen dari total sasaran. Penerima dosis pertama bertambah 20.218 orang, sehingga jumlah keseluruhan mencapai 202.755.346 orang atau setara 97,3 persen dari total sasaran.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan pemerintah hingga saat ini masih fokus untuk mengejar capaian vaksinasi dosis ketiga.

"Kita selesaikan dulu booster pertama yang masih rendah, masih 30 persen. Itu dulu diselesaikan agar risiko kesakitan yang parah bisa diantisipasi," katanya.

Maxi mengatakan laju rata-rata kasus Covid-19 hingga saat ini berkisar 4.000 lebih orang terinfeksi dalam 24 jam terakhir.

Baca Juga: