Selain mengancam kemandirian pangan, hewan ternak impor memiliki risiko yang besar dalam penyebaran penyakit.

JAKARTA - DPR RI menolak adanya usulan penggantian atau replacement sapi perah penyintas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) melalui kran impor. Sebaiknya usulan dari Kepala Dinas Peternakan (Kadisnak) Provinsi Jawa Timur (Jatim), Indah Aryani, tersebut dapat ditunda.

Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, mengatakan penundaan itu karena hingga saat ini persoalan PMK masih belum menemukan solusi yang komprehensif. Hal itu disampaikan Johan saat pertemuan Kunjungan Kerja Reses dengan perwakilan Kementerian Pertanian, Kadisnak Jatim dan stakeholder terkait di Balai Besar Veteriner Faema Pusvetma, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (21/10).

"Seharusnya kita tahan dulu (usulan itu), kan sampai hari ini kita belum menemukan secara komprehensif bagaimana kita menyelesaikan persoalan PMK ini. Masih ada daerah (kategori) merah (PMK), belum ada hijau dan masih kuning saja," tegas Johan dikutip dari laman resmi DPR RI, akhir pekan lalu.

Dalam hal ini, Johan menyatakan sistem pengelolaan ternak di Tanah Air perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum memilih opsi impor. "Kita mencoba mengembangbiakkan dulu (sapi perah) yang ada di dalam negeri. Karena memang awal mula penyebaran PMK ini kan karena kita kecolongan terhadap lalu lintas hewan-hewan ternak yang datang antar negara," ucapnya.

Lebih lanjut, Politisi itu menilai hewan ternak impor memiliki resiko yang besar dalam penyebaran penyakit. Bahkan menurutnya, bukan tidak mungkin selain PMK, ternak yang didatangkan melalui impor berpotensi membawa penyakit lainnya.

"Jangan pula kita ingin mengimpor ternak dari luar. Karena kan kita tidak tahu pasti sehat tidaknya ternak yang didatangkan, bisa saja disana klaim sehat, tahu-tahu setelah beberapa waktu sampai di sini (Indonesia) dia sakit. Makanya yang impor ini kita tunda dulu, dan kita lebih mengoptimalkan potensi peternak dalam negeri," jelasnya.

Penurunan Produksi

Dalam paparannya, Kepala Dinas Peternakan (Kadisnak) Provinsi Jawa Timur (Jatim), Indah Aryani, menjelaskan kebutuhan impor sapi perah disebabkan dampak PMK di Indonesia kian terasa khususnya bagi para peternak.

Walaupun sedang dalam masa recovery, sapi perah penyintas PMK akan mengalami perubahan produksi susu, di mana hewan tersebut akan sulit untuk kembali seperti saat normal. "Tak hanya itu, PMK juga turut berpengaruh pada kemampuan reproduksi sapi, sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kuantitas produksi," ucap Indah.

Sebelumnya, Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency (NFA) akan memperbaiki tata kelola pangan nasional, termasuk produk strategis seperti daging dan sapi.

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo, beberapa waktu lalu mengatakan posisi NFA adalah berfokus pada kalkulasi kebutuhan nasional dan disandingkan dengan proyeksi produksi untuk melihat kebutuhan importasi.

Penyusunan kalkulasi tersebut dijaminnya akan semakin akurat karena dilakukan bersama tim dari Kementerian Pertanian.

"Realisasi impor itu harusnya sepakat dan ada komitmen penuh bagi pemegang kuota impor. Kalau realisasinya tidak ada, perlu ada punishment," sambungnya.

Lebih lanjut, Arief menjelaskan pihaknya senantiasa berusaha menciptakan keseimbangan dalam ekosistem pangan mulai dari hulu sampai hilir.

Baca Juga: