Selain memberantas barang impor ilegal, pemerintah harus membenahi regulasi agar produk lokal dapat bersaing dengan barang dari luar negeri.
JAKARTA - DPR RI meminta pemerintah segera mengatasi masalah badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia. Komisi IX mengingatkan pemerintah agar bergerak cepat mencari solusi karena angka pekerja yang di-PHK terus meningkat.
Anggota Komisi IX, Netty Prasetiyani Aher, mengatakan pemerintah jangan tenang-tenang saja, seolah tidak ada masalah. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbangnya industri tekstil dan garmen dalam negeri adalah tidak kuat bersaing dengan barang impor Tiongkok.
"Impor barang dari Tiongkok harus diawasi dan diperketat," tegas Netty, di Jakarta, Jumat (6/9).
Seperti diketahui, industri tekstil, garmen dan alas kaki menjadi sektor paling banyak melakukan PHK. Selain alasan tidak kuat bersaing dengan produk impor Tiongkok, sektor tersebut juga mengalami penurunan permintaan sehingga menyebabkan merosotnya produksi dalam tiga tahun terakhir.
Untuk itu, Netty menilai pemerintah harus membenahi regulasi. Sebab, produsen dari Tiongkok bisa menjual produk dengan harga lebih murah lantaran adanya subsidi dan kemudahan aturan dari pemerintah mereka.
"Artinya ada regulasi yang menguntungkan (dari pemerintah Tiongkok). Selain itu, patut ditengarai adanya praktik jual dan impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Kita harus cek bagaimana regulasi di Indonesia," ujar Legislator Dapil Jawa Barat VIII ini.
Netty juga mendesak pemerintah menyelidiki pengawasan produk impor serta memberantas praktik jual impor ilegal. "Jika kondisi ini dibiarkan, tentunya akan semakin banyak industri dalam negeri yang tumbang dan mem-PHK karyawannya," kata Netty.
Netty menyebut pembiaran terhadap masalah badai PHK juga akan berdampak pada masa depan bangsa. Tingginya angka pengangguran dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat. "Banyaknya PHK akan melahirkan generasi cemas, alih-alih generasi emas," tukasnya.
Karena itu, Netty meminta pemerintah membuat kebijakan yang mendorong dan mendukung perusahaan agar dapat menjalankan usahanya lebih sehat.
"Program job fair memang menarik antusias masyarakat, tapi tidak menyelesaikan masalah industri yang tumbang dan gulung tikar. Pemerintah harus fokus mengatasi masalah pada upaya perbaikan dan penyehatan perusahaan," sambung Netty.
Berdasarkan laman satu data Kemenaker, badai PHK mulai terlihat sejak tahun lalu di mana pada periode Januari-November 2023 terdapat 57.923 orang tenaga kerja yang terkena PHK. PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah.
Posisi kedua diikuti oleh DKI Jakarta, dan posisi ketiga Provinsi Banten. Khusus PHK di DKI Jakarta didominasi sektor jasa seperti restoran dan kafe, sedangkan badai PHK di Jateng paling banyak terjadi di sektor manufaktur, tekstil, garmen, dan alas kaki.
Terbaru, angka PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) meningkat beberapa waktu belakangan. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) setidaknya sekitar 46.240 tenaga kerja terkena PHK hingga akhir Agustus 2024.
Aturan Teknis
Besarnya gelombang PHK tersebut menjadi sorotan terutama terkait bagaimana regulasi mengatur perlindungan bagi pekerja yang kena PHK. Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mengatakan UU Cipta Kerja menjadi bagian titik temu bagi pengusaha dan pekerja.
"Titik temu itu temunya adalah di UU Omnibus Law (Cipta Kerja). Semua masukan sudah kita terima, tapi beri kesempatan pada pemerintah untuk membuat peraturan peraturan teknis sehingga antara kebutuhan pengusaha dan pekerja ini ada titik temu yang baik," kata Edy.