Pemerintah didesak untuk memberikan insentif bagi industri tekstil dan menumbuhkan program-program yang mendukung kemandirian bahan baku dalam negeri guna memperkuat daya saing produk tekstil Indonesia.

JAKARTA - Kasus pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) sebenarnya juga banyak dialami industri tekstil lainnya. Karena itu, pemerintah harus mengambil langkah cepat agar kondisi seperti Sritex tidak terulang.

Anggota Komisi VII DPR RI, Iman Adinugraha, menilai pemerintah perlu mengurangi kebergantungan pada produk impor di sektor tekstil. Menurutnya, selama ini kebergantungan pada impor bahan baku tekstil menjadi salah satu faktor memperberat beban industri nasional.

"Langkah-langkah strategis harus diambil agar industri tekstil nasional bisa lebih mandiri dan bersaing secara global," tegasnya di Jakarta, Rabu (30/10).

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kebergantungan Indonesia pada impor bahan baku tekstil mencapai lebih dari 60 persen. Hal ini menjadi tantangan serius bagi industri nasional untuk dapat beroperasi secara optimal di tengah persaingan yang makin ketat.

Iman Adinugraha menegaskan Komisi VII DPR RI akan berkoordinasi dengan para pihak terkait, termasuk Kementerian Perindustrian dan Kementerian Ketenagakerjaan, guna menyusun berbagai langkah mitigasi untuk menyelamatkan nasib pekerja Sritex dan memastikan keberlanjutan perusahaan.

Pihaknya juga berharap pemerintah memberikan insentif bagi industri tekstil dan menumbuhkan program-program yang mendukung kemandirian bahan baku dalam negeri. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat daya saing produk tekstil Indonesia, sehingga industri dalam negeri lebih siap menghadapi tantangan di masa mendatang.

Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKTF) Kemenperin, Reni Yanita, menjelaskan terpuruknya industri tekstil tak lepas dari tiga persoalan. Pertama, banjir produk impor setelah pandemi Covid-19, perang yang melanda dunia, hingga terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

"Kita harus punya kebijakan tepat untuk industri tekstil kita. Jangan sampai terulang ada kasus-kasus Sritex yang lain kan. Pasti kita harus ada rumusan yang pas nih. Yang pasti kalau dari dulu-dulu kan kita selalu bangga buatan Indonesia. Nah, ini saatnya kita untuk bangga buatan lokal nih," tuturnya.

Reni menjelaskan sekitar 60 persen pangsa pasar Sritex adalah ekspor. Karena kondisi pasar global kurang baik, perusahaan berusaha mengalihkan pasarnya ke Tanah Air.

Sayangnya, pasar di dalam negeri justru sudah diisi oleh produk-produk impor. Menurut Reni, kondisi seperti ini tak hanya dialami Sritex, namun oleh perusahaan tekstil lainnya dan industri pakaian jadi.

Skema Penyelamatan

Kemenperin, papar Reni, akan menyiapkan beberapa opsi penyelamatan terhadap Sritex (SRIL) dari kondisi pailit seperti yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Jawa Tengah.

Reni mengatakan sejumlah usulan penyelamatan ini harus didiskusikan kembali bersama Sritex dan juga tiga kementerian terkait lainnya, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kementerian Tenaga Kerja.

"Kita ada pertemuan lanjutan yang lebih detail kepada skema-skema yang diusulkan ke pemerintah dalam hal ini mungkin ke Kementerian Keuangan. Karena kan ada empat menteri kan, nah untuk menyusun itu kan kita juga harus konsolidasi," ujar Reni.

Dari beberapa opsi yang ada, kata Reni, sangat dimungkinkan adanya pemberian dana talangan dan insentif untuk Sritex. "Ya seperti itu (dana talangan atau insentif), tapi nanti lihat modelnya disusun. Iya seperti itu sih, karena kan ini bersama," katanya.

Dalam upaya penyelamatan ini, lanjut Reni, Menperin berupaya untuk melindungi tenaga kerja dan juga ekspor yang sedang berjalan.

Baca Juga: