» Sekitar 60 persen penduduk Indonesia terhubung dengan petani yang rata- rata pendapatannya 1,25 juta rupiah per bulan dengan empat orang per kepala keluarga.

» Kalau 100 triliun rupiah digunakan untuk industri pangan, bisa untuk menyerap 40 juta ton produksi Mocaf, sagu, dan umbi-umbian.

JAKARTA - Kebijakan impor bahan pangan akan terus memiskinkan sekitar 27 juta petani di Indonesia. Sebab dengan impor, harga produksi petani terus merosot sehingga pendapatan mereka yang hanya sekitar 1,25 juta rupiah perbulan sulit meningkat. Apalagi rumah tangga petani terdiri dari empat orang

Sementara itu, devisa yang digunakan untuk impor bahan pangan, seperti terigu yang mencapai 37 triliun rupiah per tahun, kalau dialokasikan untuk membeli produk pertanian dalam negeri maka bisa meningkatkan pendapatan para petani.

Berdasar sensus Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 total rumah tangga pertanian berjumlah 27,68 juta rumah tangga petani. Dan berdasarkan sensus 2013 pendapatan petani perbulan 1,25 juta rupiah.

Rata-rata petani Indonesia memiliki 0,66 hektar lahan, artinya pendapatan petani perbulan tidak lebih dari 800 ribu rupiah. Dan 60 persen dari petani hanya menguasai 1.000 m2 artinya pendapatan tidak lebih dari 150 ribu rupiah perbulan.

Dewan Pembina Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, yang diminta pandangannya, Jumat (22/10), mengatakan selain devisa untuk impor, dari belanja negara melalui dana desa yang mencapai sekitar 73 triliun rupiah tiap tahun bisa dioptimalkan untuk menyerap produk-produk petani. Dana tersebut lebih efektif jika dikelola oleh Badan Pangan dan digunakan menyerap produk pertanian, seperti mocaf, sagu, dan umbi-umbian guna menyubstitusi produk impor seperti terigu.

"Kalau 100 triliun rupiah digunakan untuk industri pangan, bisa untuk menyerap 40 juta ton produksi mocaf, sagu, dan umbi-umbian sehingga petani tidak mengalami kemiskinan berkelanjutan. Apalagi sekitar 60 persen penduduk Indonesia terkait dengan petani. Bayangkan kalau 60 persen penduduk kita dibeginikan," kata Yakub.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan kemerosotan pertanian akibat serbuan komoditas impor akan berdampak luas pada kemiskinan masyarakat.

"Selain faktor struktural yang tidak ramah, kemiskinan juga karena kebijakan pemerintah bersifat meritokratis atau kondisi di mana tidak ada yang berpihak untuk melindungi kaum miskin," kata Bagong.

Kemudahan impor menyebabkan pasokan barang dari luar negeri lebih besar dari ekspor barang, sehingga makin memberatkan program penanggulangan kemiskinan. Apalagi banyak barang yang diimpor, sebenarnya bisa diproduksi dalam negeri.

Akibatnya saat panen, petani yang seharusnya untung, malah jadi rugi. Memang perlu ada keberpihakan untuk mendukung petani sendiri. Kalaupun produksi pertanian kita belum surplus untuk dieskpor, setidaknya dapat memenuhi kebutuhan sendiri.

"Bukan malah kalah bersaing dengan impor yang semakin lama volumenya semakin besar," kata Bagong.

Semakin Merosot

Sementara itu, Pakar Sosiologi Ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Imron Rozuli, mengatakan akibat kalah dari produk impor, pertanian rakyat mengalami stagnasi dan kemerosotan sehingga warga perdesaan semakin dekat dengan kemiskinan.

"Hal ini karena pertanian menjadi bagian sektor yang makin dipinggirkan dan tidak dioptimasi untuk tumbuh. Hampir seluruh PDRB di level daerah pertumbuhannya negatif. Di samping itu, nilai tukar petani tetap rendah," kata Imron.

Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, dalam sebuah acara di Jakarta, Jumat (22/10), mengakui kalau kemiskinan ekstrem tidak akan selesai hanya dengan pemberian bantuan sosial (bansos).

"Upaya pemberdayaan ekonomi juga harus ikut digerakkan dalam upaya penyelesaian kemiskinan dan kemiskinan ekstrem di berbagai daerah," kata Wapres.

Pemberdayaan ekonomi masyarakat itu salah satunya dengan mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah. "Di sinilah peran penting UMKM yang selama ini telah berperan menjadi tulang punggung perekonomian nasional," kata Wapres.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, dalam kesempatan lain mengatakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen pada mocaf dan di sisi lain bea masuk impor terigu 0 persen upaya melakukan diversifikasi pangan melalui substitusi impor pangan ke tepung lokal gagal.

Di negara lain, katanya, tarif impor terigu (gandum) dipatok cukup tinggi, seperti Thailand 40 persen dan Bangladesh 15-20 persen. "Kalau terus begini, jebakan kebergantungan pada pangan impor masih berkepanjangan," kata Awan.

Impor pangan, tambahnya, memiskinkan petani lokal dan menguntungkan petani negara importir.

Baca Juga: