JAKARTA - Kebergantungan industri Indonesia terhadap bahan baku, bahan penolong, dan barang modal impor menjadi salah satu kendala akselerasi pertumbuhan ekonomi secara umum dan industri pengolahan secara khusus.

Mohamad D Revindo dari Pusat Kajian Iklim Usaha dan Nilai Rantai Pasokan Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI), di Jakarta, Selasa (23/2), menyatakan hampir 90 persen nilai importasi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, bahan penolong, dan barang modal.

"Importasi Indonesia yang digunakan untuk industri pengolahan menyebabkan perekonomian sulit tumbuh cepat, karena industri pengolahan rawan terhadap gejolak rantai pasok global, dan tekanan pada neraca perdagangan, neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah," kata Revindo.

Kondisi itu tergambar pada awal masa pandemi Covid-19, Maret-Juni 2020 lalu, di mana guncangan pada rantai produksi global ikut menghambat sebagian industri domestik yang bergantung pada bahan baku impor, selain tentunya guncangan dari sisi permintaan.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sempat terkontraksi hingga 4,19 persen secara kuartal ke kuartal (q to q) pada triwulan II 2020. Pada triwulan III dan IV walaupun pertumbuhan sudah terjadi secara q to q, namun secara tahunan atau year on year (yoy) PDB masih minus 3,49 persen dan 2,19 persen.

Kinerja industri pengolahan, jelas Revindo, tidak optimal karena tingkat utilisasi di bawah biasanya. Dalam situasi normal rata-rata utilisasi industri 75 persen. Di awal pandemi jatuh di kisaran 30-40 persen. Per awal September 2020, utilisasi manufaktur mulai meningkat, pada kisaran 55,3 persen.

Lebih lanjut dikatakan, disrupsi rantai pasok global itu justru momentum pemerintah untuk meningkatkan rantai produksi domestik dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Kementerian Perindustrian, jelas Revindo, memang sudah mencanangkan substitusi impor bahan input.

"Pada akhir 2022, ditargetkan 35 persen barang input yang selama ini diimpor dapat disubstitusi dengan barang produksi dalam negeri. Target tersebut diupayakan tercapai secara bertahap dengan 15 persen substitusi impor dicanangkan tercapai di akhir tahun 2021," katanya.

Substitusi diarahkan untuk barang input demi mendorong penambahan nilai di sepanjang rantai produksi dari barang setengah jadi menjadi barang jadi. Untuk mencapai target tersebut diperkirakan membutuhkan investasi sebesar 197 triliun rupiah.

Dari total impor barang input Indonesia, porsi terbesar adalah untuk kebutuhan input industri peralatan listrik dengan porsi 19 persen, makanan 9 persen, komputer, barang elektronik dan optik 9 persen, tekstil 9 persen, kimia dan barang dari kimia 8 persen, karet dan plastik 7 persen serta kendaraan bermotor 7 persen.

Rekan Revindo dari LPEM, Aditya Alta, menambahkan dalam jangka pendek hingga 2022, pemerintah tampaknya akan melakukan proteksi terhadap industri dalam negeri melalui instrumen kebijakan non-tariff measures, seperti persetujuan, perizinan, dan lartas (larangan dan batasan) impor.

n ers/E-9

Baca Juga: