Pemerintah perlu mengambil kebijakan secara cepat dan tepat untuk memperbaiki sederet permasalahan di tata kelola pangan.

JAKARTA - Daya beli petani melemah pada April lalu. Pemerintah dianggap belum mampu mengeluarkan kebijakan secara komperehensif untuk mengatasi masalah masalah yang sudah mengemuka pada Maret lalu.

Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli, mengatakan berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai Tukar Petani (NTP) pada April 2021 mencapai 102,93 atau turun 0,35 persen dibandingkan Maret 2021. Pelemahan tersebut dipengaruhi oleh penurunan NTP di dua subsektor, yakni tanaman pangan sebesar 1,18 persen dan tanaman hortikultura sebesar 2,62 persen.

"Situasi petani tanaman pangan belum membaik namun justru memburuk. Kita sebelumnya sudah menyoroti pada Maret lalu, pemerintah mengambil langkah yang tidak tepat terkait keluhan rendahnya harga gabah di tingkat petani, bahkan muncul wacana impor beras," ujar Agus Ruli di Jakarta (0/05).

Agus Ruli menuturkan, berdasarkan laporan dari anggota SPI di berbagai wilayah memang tidak terlihat ada perubahan kebijakan untuk memperbaiki masalah terkait tata kelola beras ini. "Kalau dilihat dari laporan BPS tersebut, kita lihat juga bahwa memang terjadi penurunan indeks harga yang diterima petani pada kelompok padi sebesar 1,88 persen," ujarnya.

Dia menambahkan tak hanya jenis padi-padian, tanaman pangan jenis umbi-umbian juga masih berada dalam harga relatif murah. "Khususnya ubi kayu, ini harganya murah sekali. Di Riau, kami mendapatkan informasi harga, untuk ubi kayu drop (turun) mencapai 600-800 rupiah per kg," keluhnya.

Sementara itu, pada subsektor hortikultura, penurunan terjadi akibat dari turunnya indeks harga yang diterima oleh petani di kelompok sayursayuran dan tanaman obat sebesar 3,55 persen. "Untuk jenis sayur-sayuran, memang kami mendapat laporan rata-rata ini turun semua. Di Wonosobo misalnya, sayur-sayuran seperti sawi, labu siam, kubis, sampai cabai merah ini dihargai murah sekali bahkan tidak laku di pasaran," ungkapnya.

Langkah Cepat

Karena itu, Agus Ruli mendesak pemerintah mengambil kebijakan secara cepat dan tepat untuk memperbaiki sederet permasalahan di tata kelola pangan. "Kita berharap permasalahan ini tidak berlarut dan semakin memburuk," kata Agus.

Saat ini, lanjut dia, di beberapa wilayah, untuk tanaman pangan, tengah memasuki musim tanam kedua bahkan ada yang musim tanam ketiga. "Idealnya pemerintah sudah memiliki formula untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang lagi ke depannya," paparnya.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menilai penurunan NTP pada April lalu cukup wajar, karena dipicu penurunan harga di tingkat petani.

Pada kasus petani padi, saat awal panen pada April, harga gabah terjun bebas dipicu adanya isu impor. "Ini tentu saja memukul petani dari sisi penerimaan, sementara pada sisi pengeluaran memasuki puasa dn lebaran ini pengeluaran kan relatif meningkat juga," ucap dia.

Menurut Said, melihat situasi ini tentu saja sangat disayangkan. Ketika daya beli petani seharusnya naik akibat panen yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun, yang terjadi justru kebalikannya.

Situasi ini menambah panjang catatan, selama ini petani tanaman pangan menjadi kelompok yang paling sedikit menerima margin dari usaha taninya. "Ini kan sebenarnya berulang juga jdi tidak hanya musim atau saat ini saja," pungkas Said.

Baca Juga: