Impor gas dari Singapura tidak membawa keuntungan apa-apa buat RI, melainkan hanya dinikmati para trader dan importir, sementara devisa negara terus saja terkuras.

JAKARTA - Kebijakan pemerintah mengimpor gas alam cair (LPG) dari Singapura dinilai anomali karena dilakukan di tengah pasokan domestik yang berlimpah. Selain menguntungkan importir dan pemburu rente, keputusan impor itu dianggap bisa mengancam ketahanan energi nasional.

Pengamat Energi, Mamit Setiawan, menegaskan langkah ini benar-benar merusak pasokan domestik. Apalagi, Pertamina sebelumnya menandatangani perjanjian jual beli dengan Amerika Serikat (AS) untuk memasok gas mulai 2022. Jadi, jika kali ini pemerintah kembali mengimpor gas, dikhawatirkan ketiadaan pasar bagi suplai gas domestik.

"Impor gas tidak membawa keuntungan apa-apa buat RI, yang menikmatinya hanya para trader dan importir, sementara devisa negara terus saja terkuras. Pemerintah mestinya sudah menyadari RI adalah ladang gas, karenanya kembangkan saja yang ada, bukan justru membuka kran impor," tegasnya, di Jakarta, Senin (11/9).

Seperti diketahui, kunjungan Jokowi ke Singapura pada 6 September lalu berbuah kontrak impor LNG untuk kebutuhan PT PLN (Persero). Kontrak kesepakatan Heads Of Agreement (HOA) diteken antara PLN dengan traders Singapura, yakni Keppel Offshore and Marine dan Pavilion Gas.

Melalui kontrak tersebut, Keppel Offshore dan Pavilion Gas akan memasok kebutuhan LNG dengan kapal angkut ukuran kecil untuk pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) berkapasitas 25-100 megawatt (MW) untuk wilayah bagian barat Indonesia.

Pengamat Migas dari Center for Energy and Strategic Resources Indonesia (Cesri), Yusri Usman, mengatakan kabar penandatangan kesepakatan HOA itu ternyata sepi dari pemberitaan media dalam negeri, tetapi cukup ramai di Singapura karena sebuah prestasi. "Bisa jadi, kegiatan itu dianggap sebagai aib tata kelola migas nasional, sementara bagi Singapura ini merupakan pencapaian besar karena cukup sekelas trader tak punya sumber gas bisa menundukkan sebuah negara besar yang menghasilkan gas," paparnya.

Awalnya, informasi soal kesepakatan impor dengan Keppel Offshore anda Marine itu, terang Yusri membingungkan, soalnya sulit diterima dengan akal sehat bagaimana mungkin perusahaan trader yang mempunyai storage LNG di negara yang tak ada sumber gas bisa menjual murah LNG daripada LNG milik bagian negara, Kontraktor Kontrak Kerja Sama KKKS dan Pertamina serta PT PGN.

Untungkan Mafia

Seiring berjalannya waktu, kontrak impor LNG ini pun bisa menjadi mulus karena dengan mendadak juga Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2017 tanggal 30 Januari 2017 menjadi menjadi Permen ESDM Nomor 45 Tahun 2017 tanggal 25 juli 2017 tentang Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Listrik. Ini cukup aneh karena aturan sebelumnya belum lama terlalu berjalan, tetapi langsung direvisi dengan alasan yang belum jelas.

Dalam aturan tersebut, sesuai dengan Pasal 8, ada celah bagi PLN untuk mengimpor LNG bila harganya dianggap lebih murah. "Adanya kontrak impor LNG yang diawali dengan revisi Permen ESDM tersebut menunjukan mafia migas masih menguasai tata kelola migas nasional dan pemerintah belum bisa keluar dari jeratan mafia. Impor migas hanya untungkan mafia migas dan merugikan pengembangan energi nasional," pungkas Yusri.ers/E-10

Baca Juga: