Untuk mencapai kedaulatan pangan, sangat penting memastikan pendapatan petani memadai untuk hidup layak.

JAKARTA - Pemerintah diminta jangan terburu-buru memutuskan impor beras, tetapi mempertimbangkan kembali keputusan impor untuk memenuhi stok pangan. Permintaan itu disampaikan karena stok beras diperkirakan akan lebih sehingga berpotensi merugikan para petani.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, dalam paparan kepada media di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, akhir pekan lalu, memperkirakan produksi beras pada 2024 akan naik sekitar 3 hingga 5 persen atau naik rata-rata dua juta ton.

Dwi, yang juga sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), berharap pemerintah tidak terburu-buru memutuskan impor beras, sebab dengan data yang relatif akurat, surplus defisit stok sudah bisa diketahui.

Keputusan impor beras, saran Dwi, sebaiknya baru diputuskan pada Agustus 2024 mendatang karena prognosis data produksi Badan Pusat Statistik (BPS) sudah relatif akurat.

"Kalau pada saat itu produksi tidak mencukupi, sedulur tani tidak ada masalah impor dilakukan oleh pemerintah kalau itu betul-betul karena produksinya tidak mencukupi konsumsi," kata Dwi seperti dikutip dari Antara.

Menurut dia, perhitungan pada tahun lalu bermasalah karena stock to use ratio (rasio stok yang digunakan) hanya 13 persen. "Stock to use ratio 13 persen memang bahaya. Karena cadangan stok awal 2023 hanya empat juta ton. Tapi, stok 2024 itu sudah melebihi 20 persen. Tidak ada masalah sama sekali. Aman dengan posisi saat ini," jelas Dwi.

Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyarankan agar pemerintah, terutama pemerintahan di periode selanjutnya, dapat menerapkan perencanaan jangka panjang dalam kebijakan impor beras.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, yang dihubungi dalam kesempatan lain mengatakan kepentingan petani semestinya menjadi pertimbangan utama ketika pemerintah memutuskan impor beras. Sebab, impor yang berlebih sangat merugikan petani.

"Impor beras yang berlebihan hingga lima juta ton itu saya rasa kurang tepat karena bisa mempengaruhi harga di petani karena menjelang panen raya Maret-Mei walaupun ada kemungkinan panen lebih rendah dari normalnya," kata Dwijono.

Jika tujuan impor, katanya, untuk stok maka cukup hanya 1,5-2 juta ton saja agar tidak mempengaruhi harga saat panen raya nanti.

"Jangan sampai kebutuhan stok untuk politik pemilu mempengaruhi harga di tingkat petani pada masa panen Maret-April 2024," tandas Dwijono.

Abaikan Hak Petani

Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan pemerintah dengan kewenangan dan kekuasaannya bisa menstabilkan harga pangan, memastikan petani mendapatkan keuntungan dan memastikan konsumen mendapatkan harga yang terjangkau.

Untuk mencapai kedaulatan pangan maka sangat penting untuk memastikan pendapatan petani memadai untuk hidup layak.

"Impor yang dilakukan tanpa memperhatikan data potensi produksi petani bahkan bisa merugikan petani menjadi tanda pengabaian hak-hak petani, yang dilindungi di UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan)," tegas Qomar.

Setiap kali impor, harga turun, sampai ditingkat harga yang merugikan petani. "Impor membuat petani tidak semangat untuk produksi," tandas Qomar.

Secara terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan sangat penting bagi pemerintah meninjau kembali kebijakan rencana impor beras. Pemerintah seharusnya berpihak pada petani.

Stabilisasi harga beras tidak harus ditempuh dengan jalan mengimpor beras terus membuat pasar murah agar harga di pasar/konsumen turun. "Naiknya harga beras di pasar, selain soal ketersediaan barang, juga mata rantai distribusi yang panjang, permainan para tengkulak, dan lain sebagainya," papar Badiul.

Saat ini, lanjutnya, memasuki musim penghujan artinya sebagian daerah memasuki musim tanam. Pada saat yang sama, pemerintah semestinya fokus membantu petani mulai penyediaan benih, pupuk, dan teknologi tepat guna untuk menaikkan produksi beras petani.

Jika melihat data kerangka sampel area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) luas panen padi pada 2023 diperkirakan 10,20 juta hektare dengan produksi 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG) atau jika dikonversi ke beras setara 30,90 juta ton beras, sedangkan pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton.

"Jika kita tilik ke belakang, impor beras ini memiliki potensi korupsi, salah satu penyebabnya misalnya soal data, sehingga perlu pengawasan yang ekstra ketat, termasuk ketika penentuan kuota impor. Terlebih kenaikan jumlah impornya signifikan dari 3,5 juta ton menjadi lima juta ton," tegas Badiul.

Baca Juga: