Pemerintah melalui Bulog seharusnya lebih mengutamakan penyerapan hasil produksi lokal dengan harga yang pantas.

JAKARTA - Pernyataan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, mengenai potensi mengimpor beras hingga lima juta ton pada 2024 terus menuai kontroversi. Bukan hanya soal jumlah impornya yang dinilai tidak logis, namun juga kebijakan itu semakin merugikan petani.

Pakar kebijakan publik dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Andy Fefta Wijaya, Rabu (15/11), mengatakan impor beras dalam jumlah besar di tengah inflasi semakin menekan perekonomian petani.

Menurut dia, pemerintah melalui Bulog seharusnya lebih mengutamakan penyerapan hasil produksi lokal dengan harga yang pantas.

"Kalau situasinya seperti ini maka keuntungan petani semakin tergerus dan itu masih ditambah dengan inflasi bahan makanan yang semakin menekan daya beli masyarakat desa," kata Andy.

Bulog juga seharusnya menaikkan harga beli hasil gabah petani dan lainnya. Pemerintah harus menyinkronisasikan kebijakan antara Bulog dan Kementerian Perdagangan dalam hal impor. "Jika impor jalan terus swasembada pangan akan semakin sulit tercapai," kata Andy.

Senada dengan Andy, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, mengatakan mestinya di tengah kondisi saat ini, perekonomian petani itu diperkuat. Tidak diganggu dengan wacana impor beras apalagi sampai sebanyak lima juta ton.

"Mentan semestinya fokus pada potensi peningkatan produksi pangan sejumlah berapa juta ton pada 2024, sehingga berangsur-angsur mengurangi ketergantungan impor pangan," kata Awan.

Perubahan iklim dan geopolitik global yang menjadi ancaman krisis pangan semestinya mendorong pemerintah lebih serius dalam menjalankan agenda kedaulatan pangan.

Awan pun khawatir dengan wacana impor beras tersebut akan berdampak ke petani yang tidak bergairah untuk meningkatkan produksi. "Itu yang dicemaskan, sebab mereka berpikir untuk apa menanam, kalau ujung-ujungnya impor juga," kata Awan.

Ia juga sepakat agar Bulog mengutamakan beras lokal hasil produksi petani dengan harga pembelian yang menguntungkan bagi petani.

Jual Murah

Sementara itu, Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi Serikat Petani Indonesia (SPI), Muhammad Qomarunnajmi, mengatakan impor selalu menjatuhkan harga di tingkat petani.

"Setiap ada impor masuk, harga beras pasti turun, yang juga berdampak di harga gabah di petani," Qomar.

Saat ini, jelasnya, sebagian petani sudah mulai menanam sehingga panen raya diperkirakan mulai berlangsung sekitar Maret-April 2024 mendatang. Sayangnya, pas panen raya itu, harga gabah juga cenderung turun karena berbarengan dengan impor sehingga harga yang terbentuk merugikan petani.

Semestinya, Bulog, papar Qomar, bisa memainkan peran sebagai stabilisator dengan menyerap hasil panen petani, tentu dengan harga yang menguntungkan petani. Namun, hal itu tidak terjadi.

Kalaupun Bulog menyerap hasil panen petani, dengan menggunakan patokan harga yang kemarin ditentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk penugasan ke Bulog sebesar 5.000 rupiah per kilogram untuk gabah kering panen (GKP) maka harga tersebut belum menguntungkan petani.

Di sisi produsen, petani mengalami keterbatasan karena tidak mempunyai cukup alat pengering dan gudang. Pada akhirnya, mereka tidak punya banyak pilihan, kecuali menjual dalam bentuk gabah kering panen (GKP), meskipun harganya murah. Hal itu demi mengejar bisa mulai menanam lagi di musim tanam kedua.

Pada kesempatan terpisah, Asisten Deputi Utusan Khusus Presiden (UKP), Ahmad Yakub, menjelaskan bahwa situasi saat ini adalah kemampuan Bulog untuk menyerap gabah/beras petani dibatasi oleh Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang sekarang di bawah harga riil di pasaran.

Di tengah produksi dalam negeri yang tidak berlebih, bila Bulog memaksakan membeli gabah/beras petani akan berpotensi mengakibatkan kenaikan harga.

"Sementara kita tahu bahwa petani adalah juga net consumer agar petani gembira maka biarkan mereka menjual gabah dengan harga tinggi sementara pemerintah mesti memaksimalkan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) agar harga terjangkau di petani terbawah," papar Yakub.

Baca Juga: