Tak pernah jera. Kasus korupsi di sektor pangan yang melibatkan pejabat negara, khususnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pengusaha kembali terjadi. Tim Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (7/8) malam, menangkap 13 orang dalam operasi tangkap tangan berkaitan dengan dugaan korupsi impor bawang putih.

Dari 13 orang yang ditangkap itu, enam orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, di antaranya pengusaha bawang, yakni Chandry Suanda (CSU) alias Afung dan anggota Komisi VI dari Fraksi PDI Perjuangan, I Nyoman Dharmantra. Afung adalah pemilik perusahaan PT Cahaya Sakti Agro, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian dan ingin mendapat kuota impor bawang putih.

Dalam kronologi penangkapan yang dibacakan pimpinan KPK, Kamis (8/8), Afung bersama temannya, Doddy Wahyudi, mencari cara bagaimana izin rekomendasi impor dari Ditjen Holtikultura dan surat izin impor dari Kementerian Perdagangan, bisa segera keluar. Afung dan Doddy menemui Zulfikar yang punya jaringan luas. Zulfikar pun akhirnya bertemu dengan Nyoman. Dari serangkaian pertemuan, Nyoman akhirnya sepakat dengan fee tertentu.

Dari pertemuan-pertemuan tersebut muncul permintaan fee dari Nyoman melalui Mirawati Basri selaku orang kepercayaan Nyoman. Angka yang disepakati pada awalnya adalah 3,6 miliar rupiah dan komitmen fee 1.700 rupiah-1.800 rupiah dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor. Komitmen fee tersebut akan digunakan untuk mengurus perizinan kuota impor 20.000 ton bawang putih untuk beberapa perusahaan, termasuk untuk perusahaan yang dimiliki Afung.

Dalam operasi senyap itu, tim KPK mengamankan bukti transfer sekitar dua miliar rupiah. Selain itu, dari orang kepercayaan Nyoman ditemukan sejumlah mata uang asing berupa dollar AS yang masih dalam proses perhitungan dan penelusuran KPK.

Kasus dugaan korupsi ini mengingatkan kita kembali pada sejumlah kasus suap di sektor pangan. Setidaknya sudah ada tiga kasus yang diusut komisi antirasuah, yaitu korupsi kuota gula impor yang menjerat Irman Gusman (Ketua DPD RI) pada 2017, korupsi impor daging yang menjerat Patrialis Akbar (Hakim MK) pada 2017, serta korupsi penambahan kuota daging impor sapi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden PKS) pada 2013.

Masalah kuota impor itu memang menjadi salah satu celah korupsi di Indonesia. Apalagi negara belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Dalam konteks impor pangan, kuota diperlukan agar negara memproteksi hasil produksi dalam negeri. Tapi sayangnya, kuota tersebut kemudian menjadi celah bagi pengusaha untuk meraup keuntungan. Para pengusaha ini pun akhirnya bermain dengan politisi di DPR demi mendapat jatah sebagai importir.

Politisi menggunakan pengaruhnya. Para politikus menjual pengaruh mereka agar mempengaruhi eksekutif memberikan slot bagi pengusaha bawaan mereka. Sebagai gantinya, pengusaha memberikan fee besar kepada anggota legislatif sebagai uang balas budi. Modus seperti inilah yang akhirnya menjerat mantan Ketua DPD RI Irman Gusman dan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq.

Upaya lobi dengan uang tidak hanya lewat politisi, tapi juga bisa langsung ke pejabat pembuat kebijakan. Sayangnya permasalahan kuota impor ini juga diperburuk oleh minimnya transparansi pemilihan importir. Publik tidak bisa memantau langsung proses seleksi importir yang mendapat jatah impor. Dengan demikian, ruang gelap tersebut menjadi media transaksi antara politikus, pengusaha, dengan pejabat terkait untuk meraup keuntungan.

Tanpa transparansi, masalah korupsi kuota impor, seperti OTT KPK tentang impor kuota bawang putih bisa saja terulang kembali. Padahal kasus dugaan korupsi dalam impor pangan ini sangat merugikan petani, konsumen dan bangsa Indonesia. Kita berharap KPK serius dan intens dalam menangani kasus korupsi di sektor pangan ini. Kita juga mendorong Presiden Jokowi memberikan atensi lebih dengan menempatkan pejabat-pejabat yang berintegritas tinggi yang akan menangani sektor pangan ini di kabinet mendatang.

Baca Juga: