Upaya kemandirian pangan bakal sulit terwujud karena impor akan terus-menerus dilakukan dan ruang liberalisasi makin luas.

JAKARTA - Keputusan pemerintah menambah kuota impor beras sebanyak 1,5 juta ton benar-benar mengancam kedaulatan pangan. Sebab, sebelumnya sejak awal tahun sudah diputuskan impor beras tahun ini sebesar dua juta ton.

Dengan adanya tambahan itu, total impor membengkak menjadi 3,5 juta ton. Salah satu rekor impor beras terbesar dalam sejarah.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, menilai acap kali impor dijadikan dalih untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Padahal, dalam catatan yang dihimpun IGJ dari berbagai media atau sumber, angka kecukupan beras nasional dalam keadaan surplus seperti pada 2022.

Rahmat mengatakan keputusan untuk mengimpor beras pada akhir 2023 sebanyak 1,5 juta ton itu dilakukan setelah kunjungan ke wilayah panen padi. "Ini mengecewakan, di saat petani panen, justru pemerintah membuat keputusan untuk melakukan impor beras," tegasnya kepada Koran Jakarta, Kamis (12/10).

IGJ menganalisa legitimasi impor pangan itu berasal dari kebijakan yang dibuat di era pemerintahan saat ini, salah satunya adalah UU No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dalam UU Cipta Kerja justru liberalisasi pangan impor semakin menjadi-jadi. Hal ini ditandai dengan adanya ketentuan Pasal 30 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diubah dalam UU Cipta Kerja menegaskan kebutuhan pangan domestik dan cadangan pangan nasional dapat diperoleh dari impor.

UU Cipta Kerja ini makin mendorong liberalisasi pangan impor yang tentunya akan menyengsarakan petani di Indonesia. Sebab, ideologi impor pangan di dalam UU Cipta Kerja ini tidak memandang kondisi petani saat panen atau tidak.

Karena itu, impor akan terus-menerus dilakukan dan ruang liberalisasi pangan semakin luas. Hal ini menghambat kedaulatan pangan di Indonesia. "Jangankan bicara kedaulatan pangan, ketahanan pangan saja akan terancam dengan adanya UU Cipta Kerja," ungkap Maulana.

Dari sisi komitmen internasional, kekalahan Indonesia dari Amerika Serikat dan Selandia Baru di sidang penyelesaian sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), membuat perubahan empat UU Nasional berkaitan dengan Pangan, Peternakan, dan Pertanian yang diubah melalui UU Cipta Kerja.

Desakan WTO kepada Indonesia untuk mengubah empat UU Nasional dalam UU Cipta Kerja semakin memperburuk kondisi kedaulatan pangan di nasional.

"Sementara, perlindungan terhadap petani serta hak-haknya semakin dilucuti di UU Cipta Kerja," tukasnya.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan pemerintah perlu hati-hati memutuskan impor jagung meskipun alasannya untuk membantu peternak ayam. Bhima beralasan beberapa daerah penghasil jagung justru pada September-Oktober sedang masa tanam, diperkirakan pada Desember-Januari 2024 sudah panen raya.

"Selain mengatur momentum, impor jagung juga perlu dipastikan sampai langsung ke peternak kecil, tidak hanya pemain unggas skala besar," ujarnya.

Jalan Pintas

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung mengambil jalan pintas. Menurutnya, impor itu bukan langkah strategis.

Pelaksana tugas (Plt) Menteri Pertanian, Arief Prasetyo Adi, mengatakan tambahan impor beras 1,5 juta ton sudah mulai pembahasan dengan Presiden Joko Widodo. Arief katakan produksi beras nasional saat ini terganggu karena bencana El Nino. Produksi beras nasional sampai akhir tahun ini diprediksi hanya bisa mencapai 30 juta ton. Padahal targetnya 31,5 juta ton, sehingga kuota impor ditambah.

Dari 1,5 juta ton tambahan impor beras itu, papar Arief, sebanyak 600 ribu ton harus sudah tiba di Tanah Air pada Desember 2023.

Baca Juga: