JAKARTA - Kebergantungan Indonesia pada produk impor dinilai sudah sampai pada titik nadir. Bukan hanya pangan dasar seperti beras, jagung, dan komoditas lainnya, yang paling parah adalah ada kelompok masyarakat yang mengonsumsi air mineral impor. Sepanjang Januari hingga Agustus 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor air mineral mencapai 991.280 dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 15 miliar rupiah.

Impor terbesar dari Fiji senilai 460.578 dollar AS, diikuti Italia 357.441 dollar AS, Korea Selatan 92.069 dollar AS, Jepang 43.031 dollar AS, Prancis 20.032 dollar AS, Australia 4.119 dollar AS, Arab Saudi 3.962 dollar AS, Uni Emirat Arab 2.248 dollar AS, dan Amerika Serikat senilai 275 dollar AS. Angka itu tidak hanya menunjukkan kebergantungan ekonomi, tetapi juga mentalitas masyarakat yang semakin rusak karena kecanduan produk impor.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Hempri Suyatna, yang diminta pendapatnya mengkritik keras fenomena tersebut. "Kebergantungan pada impor untuk sesuatu yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri menunjukkan rusaknya mentalitas kemandirian ekonomi masyarakat kita. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal harga diri bangsa," ungkap Hempri.

Kondisi itu sangat memprihatinkan mengingat air adalah sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh negara sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. "Kita berbicara tentang air, yang dalam konstitusi kita diatur harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun kenyataannya, kita malah mengimpor air dari negara-negara seperti Fiji dan Italia," jelas Hempri. Fenomena itu, lanjut Hempri, mencerminkan adanya masalah struktural dalam kebijakan ekonomi Indonesia yang terus memfasilitasi impor daripada memberdayakan industri lokal.

"Mentalitas kecanduan impor ini terjadi karena kebijakan yang longgar, sehingga masyarakat lebih memilih produk luar negeri yang dianggap lebih prestisius, padahal kualitas produk lokal tidak kalah," papar Hempri. Kecanduan impor, menurut Hempri, bukan hanya merusak sektor ekonomi, tetapi juga mempengaruhi pola pikir masyarakat. "Ketika masyarakat kita lebih bangga membeli produk luar negeri, bahkan untuk air mineral, itu menunjukkan adanya krisis identitas dan kebanggaan terhadap produk dalam negeri," tegasnya.

Sementara itu, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, menilai tindakan mengimpor air mineral itu sudah keterlaluan, sebab masih banyak brand lokal di dalam negeri. Brand lokal itu banyak di daerah, bahkan dimiliki oleh warga daerah atau masyarakat sendiri. "Liberalisme ekonomi memang menyuburkan para pemburu rente. Ini sebuah paradoks di saat negara belum sepenuhnya mampu menyediakan lapangan kerja bagi semua warganya," kata Awan. Pemerintah semestinya berpihak pada brand lokal agar terus tumbuh dan ekspansif yang pada akhirnya bisa menyerap pekerja lebih banyak lagi.

Sulit Diterima

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengaku sulit diterima dengan akal sehat terkait impor air mineral tersebut. "Kalau Singapura impor air mineral dari Malaysia bisa dipahami, tetapi kalau Indonesia, buat saya tidak masuk akal kalau sampai impor air mineral," tegas Esther.

Perusahaan air daerah (PDAM) bisa mengolah air sungai menjadi air bersih dengan alat dan teknologi yang mereka miliki. Bahkan, kadar air tingkat higienisnya tidak kalah dengan air mineral yang diproduksi perusahaan swasta ternama.

Baca Juga: