» Pelonggaran dini sebagai tanggapan terhadap data inflasi yang lebih rendah dapat memperumit kebijakan anti-inflasi.

» Tekanan biaya pinjaman akan meningkat sehingga memberatkan perusahaan yang jadi debitur bank.

WASHINGTON - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menilai sektor keuangan global tetap rapuh karena bank sentral memulai jalur yang belum dipetakan dengan mengecilkan neraca mereka.

Kepala Ekonom dan Direktur Departemen Riset IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, dalam konferensi pers bertajuk "World Economic Outlook Update" yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa (31/1), mengatakan penting untuk memantau penumpukan risiko dan mengatasi kerentanan tersebut, terutama di sektor perumahan atau di sektor keuangan nonbank yang kurang diatur.

Emerging market atau ekonomi pasar berkembang, jelasnya, membiarkan mata uang mereka menyesuaikan sebesar mungkin dalam menanggapi kondisi moneter global yang lebih ketat dengan mengintervensi pasar valuta asing (valas) atau manajemen aliran modal, yang sesuai untuk meredakan volatilitas yang berlebihan yang tidak sesuai dengan fundamentalnya.

Pasar keuangan menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap berita inflasi, dengan pasar ekuitas naik setelah rilis data inflasi yang lebih rendah baru-baru ini untuk mengantisipasi penurunan suku bunga. Kendati demikian, bank sentral telah mengomunikasikan tekad mereka untuk memperketat kebijakan lebih lanjut.

Dengan puncak inflasi utama Amerika Serikat (AS) dan percepatan kenaikan suku bunga oleh beberapa bank sentral di luar AS, menyebabkan kurs dollar AS telah melemah sejak September 2022, tetapi tetap jauh lebih kuat dari tahun lalu.

Sebab itu, kata Pierre, terdapat risiko perubahan harga di pasar keuangan secara tiba-tiba. Pelonggaran dini dalam kondisi keuangan sebagai tanggapan terhadap data inflasi utama yang lebih rendah dapat memperumit kebijakan anti-inflasi dan memerlukan pengetatan moneter tambahan.

Untuk alasan yang sama, rilis data inflasi yang tidak menguntungkan dapat memicu perubahan harga aset secara tiba-tiba dan meningkatkan volatilitas di pasar keuangan. "Pergerakan seperti itu dapat membebani likuiditas dan berfungsinya pasar secara kritis, dengan efek riak pada ekonomi riil," kata Pierre.

Oleh karena itu, dia menyarankan untuk memastikan stabilitas sektor keuangan, alat makroprudensial dapat digunakan untuk mengatasi peningkatan kerentanan sektor keuangan. Namun, langkah tersebut bergantung pada keadaan negara tersebut.

Pemantauan perkembangan sektor perumahan dan melakukan stress test di ekonomi di mana harga rumah telah meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir pun diperlukan.

Pierre menambahkan, peraturan sektor keuangan yang diperkenalkan setelah krisis keuangan global telah berkontribusi pada ketahanan sektor perbankan selama pandemi, tetapi ada kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan data dan pengawasan di sektor keuangan nonbank yang kurang diatur, di mana risiko mungkin menumpuk secara tidak mencolok.

Gejolak baru-baru ini di ruang kripto juga ikut disorot dan dinilai sebagai sesuatu yang mendesak untuk memperkenalkan standar umum dan memperkuat pengawasan terhadap aset kripto.

Biaya Pinjaman

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, yang diminta tanggapannya mengatakan pengetatan moneter bank sentral terhadap ekonomi Indonesia berdampak pada industri jasa keuangan.

Pertama, tekanan biaya pinjaman mulai terasa karena banyak industri yang semula mendapat restrukturisasi kredit, mulai mengalami tekanan ketika harus melakukan penerbitan utang baru atau melanjutkan cicilan sebelumnya. "Sebagai implikasinya, perusahaan bisa melakukan efisiensi atau tutup permanen dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal," kata lulusan UGM tersebut.

Dampak kedua ke sektor nonbank yaitu fintech. Kinerja fintech yang sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga dan arus modal dari negara lain. Dengan banyak fintech yang disuntik dengan modal asing dan kredit macet terus naik maka efeknya bisa ke perbankan kalau tidak hati hati.

Ketiga, asuransi memiliki problem yang akut dari mulai tata kelola hingga pendapatan premi yang turun. "Tahun ini mungkin asuransi jadi salah satu bisnis yang terpukul naiknya suku bunga," kata Bhima.

Baca Juga: