Meta Platforms Inc melarang media milik negara Rusia monetisasi atau menghasilkan uang dari konten di semua platform milik raksasa jejaring sosial tersebut. Bahkan, Meta juga melarang media milik negara Rusia untuk memasang iklan.

Hal tersebut disampaikan Kepala Kebijakan Keamanan Meta Nathaniel Gleicher. Ia menjelaskan keputusan tersebut sudah mulai diberlakukan.

"Kami juga terus memberikan label pada media tambahan milik negara Rusia. Perubahan ini sudah mulai berlaku dan akan terus berlangsung selama akhir pekan," kata Gleicher, dikutip dari Reuters, Senin (28/2).

"Kami sekarang melarang media milik Rusia memasang iklan atau monetisasi di platform mana pun milik kami di seluruh dunia," lanjutnya.

Menyusul invasi Rusia ke Ukraina, Facebook, salah satu platform milik Meta, meluncurkan fitur keamanan ekstra agar pengguna di Ukraina bisa melindungi akun mereka.

Pengguna di Ukraina bisa mengunci akun supaya orang lain yang tidak berteman dengan mereka tidak bisa melihat aktivitas di platform tersebut.

Fitur kunci profil bertujuan untuk memberikan pengguna akses satu klik ke fitur privasi dan keamanan tambahan. Nantinya, hanya dengan satu klik, pengguna di Ukraina dapat mengunci profilnya untuk mencegah pengguna yang bukan teman mereka, mengunduh apalagi membagikan foto profil mereka, atau melihat unggahan yang diunggah pengguna.

"Saat profil mereka dikunci, orang-orang yang bukan temannya tidak dapat mengunduh atau membagikan foto profil mereka atau melihat postingan di linimasa mereka," ucap Gleicher.

Selain itu, perusahaan teresebut juga memutuskan untuk membangun Pusat Operasi Khusus. Ini bertujuan untuk memantau dengan cermat konflik yang terjadi di Ukraina.

Gleicher menjelaskan, Pusat Operasi Khusus sementara ini dikelola oleh para ahli (termasuk penutur asli). Sehingga, tim keamanan bisa memantau situasi dengan cermat dan bertindak segera mungkin.

"Menanggapi konflik militer yang sedang berlangsung di Ukraina, kami telah membentuk Pusat Operasi Khusus untuk merespons secara real time. Fasilitas ini dikelola oleh para ahli, sehingga kami dapat memantau situasi dengan cermat dan bertindak secepat mungkin," paparnya.

Sebagai informasi, konflik Rusia dan Ukraina kian memanas setelah Presiden Rusia Vladimir Putin mengirimkan pasukan militernya ke Ukraina untuk memulai 'operasi militer khusus' pada Kamis (24/2). Tak sedikit beberapa negara di dunia yang mengecam invasi yang dilakukan Rusia, bahkan juga tidak segan untuk memberikan sanksi besar-besaran.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengungkapkan, bahwa sudah ada ratusan orang yang menjadi korban atas invasi Rusia tersebut, yang berasal dari warga sipil dan militer.

Ia menjelaskan, pada Kamis malam (24/2), setidaknya terdapat 137 warga Ukraina, baik personel militer maupun warga sipil tewas akibat serangan rudal Rusia. Sementara itu 316 orang lainnya terluka.

Orang nomor satu di Ukraina ini juga mengungkapkan "kelompok sabotase" Rusia juga telah memasuki ibu kota Kiev. Ia mendesak warga ibu kota untuk tetap waspada dan mematuhi jam malam yang telah ditentukan.

Zelensky juga menegaskan, dia dan keluarganya akan tetap berada di Ukraina, meski Rusia mengidentifikasi dia sebagai target utama mereka.

"Mereka ingin menghancurkan Ukraina secara politik dengan menjatuhkan kepala negara," ujarnya.

Baca Juga: