Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, dan adat istiadat. Kondisi ini merupakan identitas dan ciri khas Indonesia yang harus dirawat keutuhannya agar kerukunan umat beragama selalu terjaga.

Terlebih di tengah masa pandemi Covid-19 atau korona seperti saat ini. Seluruh eleman bangsa harus merapatkan barisan, bahu-membahu, bekerja sama, dan bersatu untuk menghadapi wabah yang sejauh ini masih menjadi ancaman tersebut.

Jangan sampai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dirusak atau ternoda oleh riak-riak yang muncul bersamaan dengan akan digelarnya agenda-agenda nasional seperti pilkada serentak yang rencananya berlangsung di akhir tahun ini.

Mengenai hal itu, Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar, berbicara mengenai pentingnya umat untuk bersatu menghadapi wabah Covid-19 dan menjaga kerukunan serta kedamaian. Selain itu, juga berbicara mengenai pentingnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan secara ketat di era new normal ini.

Berikut petikan wawancara wartawan Koran Jakarta, Yohanes Abimayu, dengan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA, di Masjid Istiqlal Jakarta, beberapa waktu lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana pandangan Bapak terkait nilai-nilai kebangsaan saat ini?

Pertama, ya alhamdulilah, di Indonesia ini termasuk bangsa yang sangat bersyukur karena keamanan dalam negeri, keamanan regional, keamanan dari luar relatif lebih aman. Kedua, kita bersyukur, kita mendapatkan covid-19, tapi tidak separah negara-negara yang lain. Meskipun negara kita merupakan salah satu negara berpenduduk terbesar di dunia dan Covid-nya naik terus, tetapi belum seperti yang terjadi di tempat-tempat atau negara-negara lain. Namun, bukan itu landasan kita, tapi bagaimana secepatnya melakukan penurunan melalui kesadaran masyarakat kita.

Ketiga, situasi keagamaan di Indonesia sangat kondusif ada kedamaian antara pemeluk dan antar-umat beragama. Tidak ada lagi ketegangan-ketegangan antara kelompok mayoritas dan minoritas, itu suatu hal yang perlu kita syukuri. Saya kira jarang kita bisa melihat negara terbesar

Muslimnya seperti ini atau negara-negara mayoritas Muslim bisa mempersembahkan pemandangan indah seperti Indonesia. Anda bisa bandingkan seperti negara Afghanistan, Suriah, Iran, dan negara-negara lain masih diliputi persoalan.

Apa Tanggapan Bapak mengenai situasi politik di Indonesia yang sempat memanas?

Saya melihat itu sebagai konsekuensi dari sebuah negara demokrasi. Istilah memanas dan mendingin biasa, kalau sudah mendekati pemilu memanas, normal kan. Kemudian, sesudah pemilu mulai mendingin, itu juga normal, yang penting jangan terlalu memanas. Tidak boleh. Dalam pemandangan kita selama ini semuanya masih sebatas toleransi setelah pemilihan presiden mereka berangkulan. Coba Anda lihat lawan-lawannya direkrut sebagai menteri itu pemandangan yang sangat luar biasa. Mana ada di negara-negara lain seperti itu? Jadi, saya menilai justru itu suatu hal yang positif.

Dari sudut pandang Bapak, bagaimana dengan proses pilkada atau pilpres di Indonesia selama ini?

Iya, saya tidak tidak terlalu ahli mengamati pilkada serentak, tetapi saya hanya mempertimbangkan dari segi teknis pemilu serentak ini mudah-mudahan tidak menimbulkan persoalan dengan Covid-19. Kedua, mudah-mudahan partisipasi politik tetap tinggi meski ada Covid-19 yang membuat orang-orang tidak mau datang ke tempat pencoblosan karena takut tertular, dan itu menjadi pengurang jumlah pemilih.

Pesan apa yang ingin Bapak sampaikan terkait pelaksanaan Pilkada Serentak mendatang?

Dalam era krisis seperti saat ini, dilakukannya pemilu kepala daerah (Pilkada) tentu kita berharap semoga bisa ada dampak-dampak positif lain yang muncul dengan pengerahan massa, kampanye atau segala macam. Satu sisi ekonomi, saat ini banyak PHK dan segala macam, berhenti bekerja serta segalanya.

Ada show politik jangan sampai nanti ada segala sesuatu yang kontradiktif di masyarakat kita yang tengah dalam kondisi memprihatinkan. Jangan memamerkan dangdutan, mabuk-mabukan, padahal di seberang sana ada suatu yang memprihatinkan. Yang saya minta nanti agar jangan melampaui batas dalam menampilkan kegembiraan. Ingat kita di dalam masa Covid, masa krisis tidak etis kita melakukan sesuatu hal bentuk kemewahan.

Bagaimana memupuk rasa kebangsaan untuk mengikis faham radikal dalam kontek kehidupan beragama?

Saya tidak melihat ada suatu (paham radikal) yang seperti Anda lihat di era Covid-19 ini. Tapi eranya Covid-19 ini justru jadi mendekatkan satu sama lain. Jadi, ada suatu pertemanan-pertemanan di sini saat ada Covid-19, jadi mereka melupakan perbedaan. Jadi ketegangan-ketegangan radikalisme dan sebagainya menjadi ditenggelamkan oleh Covid-19. Saya kira salah satu hikmahnya ini adalah mendekatkan satu sama lain serta rasa nasionalisme kita semakin kuat.

Bagaimana Bapak melihat upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia?

Saya melihat pemerintah Indonesia sudah berhasil menciptakan suatu proteksi untuk mencegah agar wabah ini tidak memuncak. Ini yang saya lihat bila dilihat dari frekuensi dibandingkan negara lain ya. Walaupun kita masih (dalam wabah), kita tetap berdoa dan mengimbau kepada semua pihak. Jangan menyalahkan pemerintah, tapi kita meningkatkan kesadaran sendiri.

Urusan Covid-19 ini bukan hanya urusan pemerintah, tapi urusan bersama, kita juga, masjid, gereja, pasar, terminal semua di mana kita berada mari kita bersama-sama meredam penyebaran virus Covid-19 ini.

Apa kontribusi Masjid Istiqlal dalam masa pandemi Covid-19 ini?

Saya bukan pengamat politik atau ekonomi, tetapi saya hanya pengurus Masjid Istiqlal. Kontribusi Masjid Istiqlal di masa ini sebagai rumah bersama bagi seluruh lapisan masyarakat mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan orang paling bawah masuk ke Masjid Istiqlal, dalam hal ini dengan batin yang sama.

Dalam batin yang sama kita sama-sama umat Islam, sama-sama warga bangsa mudah-mudahan kesadaran bersama tidak menimbulkan ketegangan satu sama lain. Itu kontribusi Masjid Istiqlal bagaimana menciptakan kesejukan kepada warga Indonesia. Masjid Istiqlal juga melibatkan agama-agama lain untuk mendiskusikan kebangsaan dan keumatan. Semoga Istiqlal ini dekat dengan rumah ibadah lain.

Bagaimana Masjid Istiqlal dalam menyikapi Ibadah Hari Raya Idul Adha kemarin?


Insya Allah, Masjid Istiqlal menjadi baris terdepan dalam menjalankan fungsi-fungsi protokol kesehatan. Kan kita belum pernah dilakukan salat Jumat karena dalam kondisi renovasi. Ini baru kemarin serah terima, tapi mungkin kita belum menjalankan Idul Adha karena pertimbangan kesehatan. Kalau 200 ribu orang mau dites satu per satu membutuhkan waktu 4-5 jam.

Sementara salat hanya 1,5 jam. Pasti akan mengantre masuknya, mengantre keluarnya, rawan kan. Kalau masjid kecil boleh, tapi kalau Masjid Istiqlal ramai. Nah, setelah dengan pertimbangan matang, kami bersepakat kalau bisa kali ini tidak menggunakan dulu Masjid Istiqlal untuk Idul Adha.

Apa pesan Bapak kepada jemaah?


Kita sudah sampaikan, mereka tahu, kalau Masjid Istiqlal direnovasi besar-besaran.

Protokol kesehatan yang disediakan di Masjid Istiqlal?


Seperti yang dianjurkan pemerintah, physical distancing, kemudian cuci tangan, pakai masker selama pekerjaan ini harus menggunakan protokol kesehatan. Kami juga melakukan tes kesehatan kepada karyawan yang bekerja di sini. Kita bekerja sama dengan puskesmas dan klinik.

Idul Adha tahun ini tidak sama seperti tahun sebelumnya?


Idul Fitri tahun ini tidak kita lakukan karena pertimbangan Covid-19. Kalau Idul Adha pertimbangannya renovasi, dan masih ada pekerja serta barang-barangnya. Belum sepenuhnya okelah, tapi bukan itu. Namun penyebab utamanya adalah kesulitan kita untuk menjalankan protokol kesehatan. Karena dalam tempo 1,5 jam akan keluar masuk 200 ribu orang. Itu pasti akan terjadi tidak bisa diprediksi.

Imbauan kepada masyarakat terkait dengan ibadah di Masjid?


Saya mengimbau kepada masyarakat untuk beribadah di rumahnya masing-masing. Karena kali ini Masjid Istiqlal masih dalam keadaan pembenahan.
Sekarang, ibadah Idul Adha terbuka di mana-mana, karena masih kecil-kecil jumlahnya, ya pakai tes suhu diperbanyak biar bisa cepat. Kalau 10 ribu x 20 alat pengetes suhu bisalah satu jam bisa, tapi kalau di sini 200 ribu sekalipun kita punya alat pendeteksi 20 itu tidak mungkin bunyi dan tidak bisa menyelesaikan persoalan. Makanya kita mohon maaf kepada jemaah, insya Allah hari besar Islam yang akan datang kita akan adakan.

S-2

Baca Juga: