TORONTO - Ilmuwan komputer dan psikolog kognitif dari Kanada, Geoffrey Hinton, yang dikenal sebagai "Godfather of Al", baru-baru ini memperingatkan, kecerdasan buatan atau Artificial intelligence (Al), memiliki potensi serius untuk menjadi terlalu pintar dan mengambil kendali.

Dia yakin Al dapat belajar, membuat pilihan, dan bahkan mendapatkan kesadaran diri, tetapi ia belajar secara berbeda dari manusia, sehingga menimbulkan tantangan.

Dikutip dari tayangan acara "60 Menit" CBS News, Hinton khawatir tentang Al yang bertindak mandiri dan menjadi makhluk hidup.

Menurutnya, umat manusia tidak menyadari akan potensi bahaya dari AI.

"Saya kira kita sedang dalam periode, yang pertama kali dalam sejarah, ada sesuatu yang lebih cerdas dari kita," ujarnya.

Hinton juga yakin AI dapat memahami berbagai hal, cerdas, dan sistem AI dapat belajar dari pengalamannya sendiri.

"Sama seperti pada manusia. Dan mereka mememiliki kesadaran diri," ujarnya, menambahkan bahwa manusia hanya akan menempati urutan kedua dalam hal kecerdasan.

Sejak 2013 hingga 2023, Hinton membagi waktunya bekerja untuk Google ( Google Brain ) dan Universitas Toronto, sebelum secara terbuka mengumumkan kepergiannya dari Google pada Mei 2023, dengan alasan kekhawatiran akan risiko teknologi AI. Pada 2017, ia ikut mendirikan dan menjadi kepala penasihat ilmiah di Vector Institute di Toronto.

"AI berkembang jauh lebih lama dari yang saya perkirakan, saya kira perlu waktu 50 tahun, tapi pada akhirnya berhasil bekerja dengan baik," ungkapnya.

Pada tahun 2019, Hinton dan rekannta, Yann Lecun, dan Yoshua Bengio, memenangkan Penghargaan Turing, Hadiah Nobel bidang komputasi.

Menurut Hinton, bahkan chatbot terbesar hanya memiliki sekitar satu triliun koneksi di dalamnya, sedangkan otak manusia memiliki sekitar 100 triliun.

"Namun, dari triliunan koneksi di chatbot, ia mengetahui jauh lebih banyak daripada yang Anda ketahui dalam seratus triliun koneksi Anda, yang menunjukkan bahwa ia memiliki cara yang jauh lebih baik untuk memasukkan pengetahuan ke dalam koneksi tersebut," ujarnya.

Hinton mengatakan, para ilmuwan merancang algoritma pembelajaran bagi AO. Itu seperti merancang prinsip evolusi. Namun ketika algoritma pembelajaran ini kemudian berinteraksi dengan data, menghasilkan jaringan saraf rumit yang mampu melakukan sesuatu dengan baik.

"Namun kami tidak benar-benar memahami bagaimana mereka melakukan hal-hal tersebut," terangnya.

Dia menjelaskan, salah satu cara sistem ini lepas kendali adalah dengan menulis kode komputernya sendiri untuk memodifikasi dirinya sendiri.

"Dan itu adalah sesuatu yang perlu kita khawatirkan secara serius," katanya.

Dia melanjutkan, AI bisa memanipulasi orang, dan hal ini akan sangat baik dalam meyakinkan orang karena mereka telah belajar dari semua novel yang pernah ditulis, semua buku dan semua rahasia politik.

"Mereka akan mengetahui semua hal itu. Mereka akan tahu bagaimana melakukannya," terangnya.

Hinton mengatakan, AI memberikan manfaat besar adalah layanan kesehatan, sudah sebanding dengan ahli radiologi dalam memahami apa yang terjadi pada gambar medis. Ini akan sangat bagus dalam merancang obat.

"Mereka sudah merancang obat-obatan. Jadi itu adalah area dimana hampir seluruhnya akan membawa kebaikan. Saya suka itu," tuturnya.


Namun ia memperingatkan AI dapat merebut pekerjaan manusia dengan risiko adanya sekelompok orang yang menganggur dan tidak terlalu dihargai karena apa yang mereka dulu lakukan kini, dilakukan oleh mesin.

"Risiko lain yang ia khawatirkan adalah berita palsu, bias yang tidak diinginkan dalam pekerjaan dan kepolisian, serta robot otonom di medan perang," ungkapnya.


Hinton mengaku tidak tahu cara untuk menjamin keselamatan dari dampak buruk AI. Menurutnya, manusia sedang memasuki masa ketidakpastian besar dimana akan menghadapi hal-hal yang belum pernah tangani sebelumnya.

"Dan biasanya, pertama kali Anda menghadapi sesuatu yang benar-benar baru, Anda salah. Dan kita tidak boleh salah dalam hal ini," tegasnya.

"Saya tidak mengatakan hal itu akan terjadi. Jika kita bisa menghentikan keinginan mereka, itu akan sangat bagus. Namun tidak jelas apakah kita bisa menghentikan keinginan mereka," ungkapnya.

Hinton mengatakan bahwa dia tidak menyesal atas potensi kebaikan yang dimiliki AI. Namun ia mengatakan sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan eksperimen guna memahami AI, bagi pemerintah untuk menerapkan peraturan, dan bagi perjanjian dunia yang melarang penggunaan robot militer.

Dia mengingatkan pada Robert Oppenheimer yang setelah menemukan bom atom, berkampanye menentang bom hidrogen, seorang pria yang mengubah dunia dan mendapati dunia berada di luar kendalinya.

"Mungkin kita melihat ke belakang dan melihat ini sebagai titik balik ketika umat manusia harus membuat keputusan apakah akan mengembangkan hal-hal ini lebih lanjut dan apa yang harus dilakukan untuk melindungi diri mereka sendiri jika mereka melakukannya".

"Saya tidak tahu. Saya rasa pesan utama adalah adanya ketidakpastian besar mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal-hal ini benar-benar dipahami," ujarnya.

"Dan karena mereka paham, kita perlu berpikir keras tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan kita tidak tahu," pungkas dia.

Baca Juga: