Badan atom PBB melaporkan bahwa Korut telah mengoperasikan reaktor nuklir baru yang bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB.

SEOUL - Reaktor kedua di fasilitas nuklir Yongbyon Korea Utara (Korut) tampaknya telah beroperasi, menurut badan atom PBB. Yongbyon adalah kompleks nuklir utama Korut dan pusat bagi reaktor nuklir pertamanya, dengan kapasitas lima megawatt, dan merupakan satu-satunya sumber plutonium untuk program senjatanya.

Reaktor kedua yang adalah sebuah reaktor air ringan, kini juga tampaknya telah beroperasi, berdasarkan pengamatan bahwa air hangat dikeluarkan dari reaktor tersebut, ungkap Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Kamis (21/12) malam.

"Pembuangan air hangat merupakan indikasi bahwa reaktor telah mencapai kondisi kritis," kata Direktur Jenderal IAEA, Rafael Mariano Grossi, dalam sebuah pernyataan.

Dalam pengoperasian reaktor nuklir, kekritisan adalah keadaan di mana reaksi berantai nuklir berlangsung secara mandiri, menurut para ahli.

Sejak Korut mengusir inspekturnya pada tahun 2009, IAEA tidak diberi akses ke negara tersebut. Sejak saat itu, badan tersebut terutama mengandalkan citra satelit untuk memantau Korut.

"Tanpa akses terhadap fasilitas tersebut, Badan tersebut tidak dapat memastikan status operasionalnya," kata Grossi, seraya menekankan bahwa konstruksi dan pengoperasian reaktor air ringan (LWR) bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB dan sangat disesalkan.

"LWR, seperti reaktor nuklir lainnya, dapat menghasilkan plutonium dalam bahan bakar radiasinya, yang dapat dipisahkan selama pemrosesan ulang, sehingga hal ini memprihatinkan," tutur Grossi.

Plutonium, yang merupakan bahan utama senjata nuklir, diyakini diperoleh melalui pemrosesan ulang batang bahan bakar bekas yang dihasilkan selama pengoperasian reaktor nuklir pertama di Yongbyon.

Kantor berita Korea Selatan (Korsel),Yonhap, juga melaporkan bahwa pernyataan IAEA menyatakan bahwa reaktor air ringan yang lebih besar telah mulai beroperasi di Yongbyon.

Korut diketahui telah melakukan uji coba nuklir pertamanya pada 2006 dan melakukan uji coba nuklir keenam dan terkuat pada September 2017 lalu.

Pada Maret tahun ini, pemimpin Korut, Kim Jong-un, menyerukan perluasan produksi bahan nuklir tingkat senjata ketika Pyongyang meluncurkan hulu ledak nuklir taktis baru yang lebih kecil. Pada Senin (18/12) lalu, Korut bahkan meluncurkan misil balistik antarbenua berbahan bakar padat Hwasong-18, senjata terbesar yang ada di gudang senjatanya.

Kim pada Kamis juga memperingatkan melalui media pemerintah negaranya bahwa Pyongyang tidak akan ragu melancarkan serangan nuklir jika diprovokasi dengan nuklir.

Janji Korsel

Sementara itu Korsel berjanji akan membubarkan aliansi dengan Amerika Serikat (AS) apabila Korut melakukan denuklirisasi. hal itu disampaikan oleh Menteri Pertahanan Korsel, Shin Won-sik, pada Kamis.

"Jika Korut melakukan denuklirisasi, maka Korsel siap untuk membubarkan aliansi dengan AS sebagai syarat denuklirisasi," kata Menhan Shin.

Dalam laporan kepada Komisi Pertahanan Parlemen, Menhan Shin juga menyinggung soal isu satelit mata-mata militer Korut dan ia berpendapat bahwa hampir tidak ada kemungkinan satelit mata-mata militer Korut itu menjalankan tugas secara normal pada awal bulan ini, karena satelit mata-mata militer yang diluncurkan oleh Korsel atau AS yang memiliki teknologi canggih pun, baru mampu untuk menjalankan tugasnya pada sekitar 5 atau 6 bulan kemudian setelah diluncurkan.

Ditambahkan pula bahwa pelaksanaan tugas secara normal oleh satelit mata-mata militer Korut dalam sepuluh hari setelah diluncurkan adalah klaim yang dinilai berlebihan tanpa pertimbangan kemampuan teknologi. Namun, Shin mengatakan bahwa komunikasi melalui satelit tersebut telah dilaksanakan walaupun resolusinya tidak tinggi. AFP/KBS/I-1

Baca Juga: