WASHINGTON - Presiden Joe Biden baru-baru ini mengeluarkan arahan bahwa Amerika Serikat (AS) akan menjadikan perang melawan korupsi sebagai prioritas utama keamanan nasional. Upaya memerangi korupsi itu dinilai sebagai momentum yang tepat untuk menghadapi bukan hanya pejabat publik dan kleptokrat yang jahat, tetapi juga jaringan internasional yang kompleks mulai dari para bankir, agen real estate, akuntan, pengacara, dan penyedia layanan lain yang korup.

Di AS, kaukus bipartisan baru melawan Korupsi Asing dan Kleptokrasi sedang menyusun sejumlah undang-undang yang akan meningkatkan konsekuensi bagi kleptokrat. Upaya itu sebagai langkah pertama yang penting, namun sifat transnasional kleptokrasi juga menuntut tindakan internasional yang berani.

Peran sentral yang dimainkan korupsi di pasar negara berkembang khususnya mempersulit perusahaan multinasional yang beretika untuk bersaing dengan mereka yang bersedia membayar suap. Sebagai peringatan, Goldman Sachs didenda 2,9 miliar dollar AS berdasarkan Undang-Undang Praktik Korupsi Asing pada Oktober 2020 karena perannya dalam membantu mantan perdana menteri Malaysia Najib Razak menyedot 4,5 miliar dollar AS dari dana pembangunan negaranya, 1MDB.

Denda semacam itu dapat menghalangi entitas swasta lain yang berbasis di AS untuk berpartisipasi dalam korupsi besar-besaran, tetapi mereka tidak menangani sisi permintaan suap, yaitu pejabat korup itu sendiri.

Covid-19 menjadi peluang baru korupsi besar-besaran, karena pemerintah yang demokratis dan otoriter mengabaikan mekanisme penegakan transparansi, akuntabilitas, dan antikorupsi yang ada. Pendanaan iklim di bawah perjanjian Paris dan perjanjian di masa depan menghadapi risiko korupsi serupa. Sebanyak enam dari sepuluh penerima keuangan iklim publik teratas berada di bagian bawah Indeks Persepsi Korupsi terbaru Transparency International.

UU AS seperti FCPA dan upaya pejabat yang jujur dalam komunitas global tidak cukup membongkar sistem aktivitas sah dan terlarang yang mendukung korupsi global.

Lebih dari seratus mantan kepala negara, menteri kabinet, legislator, pejabat antar pemerintah, pemimpin bisnis dan perwakilan masyarakat sipil telah menandatangani deklarasi dukungan pembentukan International Anti-Corruption Court (IACC) untuk mengadili pejabat korup yang oleh pemerintah mereka tidak mau melakukannya.

Pengadilan itu akan mempertemukan para penyelidik ahli, jaksa dan hakim internasional berpengalaman untuk memimpin proses pidana yang melibatkan jaringan keuangan transnasional. Meskipun para kleptokrat tidak bersedia mendaftarkan negara mereka, IACC masih memiliki yurisdiksi untuk memulihkan, memulangkan, dan menggunakan kembali aset curian dengan kerja sama pusat-pusat keuangan utama.

Segera Wujudkan

Pakar Hukum Internasional UGM, Sigit Riyanto, mengatakan IACC sangat berguna untuk membasmi korupsi internasional di Indonesia.

Pembentukan IACC harus diterima dan didukung oleh masyarakat internasional sehingga dapat berfungsi efektif. Di sinilah peran masyarakat sipil untuk menekan negara masing-masing agar mau ikut mendukung.

"Akan menjadi langkah luar biasa kalau bisa diwujudkan. Karena memang kejahatan korupsi yang paling merusak adalah yang lintas negara itu, selain nilai korupsinya besar, dampak bagi lingkungan dan juga bisnis secara umum sangat merusak," tandas Sigit.

Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas 17 Agustus Surabaya, Hufron mengatakan IACC harus segera diwujudkan karena korupsi adalah kejahatan lintas negara yang sangat merusak.

"Seperti halnya pelanggaran HAM, korupsi adalah extraordinary crime, bersifat trans nasional sehingga merupakan musuh bersama dari seluruh negara," kata Hufron. n SB/YK/FT/E-9

Baca Juga: