CATATAN ARSWENDO

Akhirnya penyebar hoaks atau hoax, penyebar kabar bohong mulai menempuh jalur hukum. Kasus yang masih bergulir dengan perhatian masyarakat adalah "Ratna yang ngaku dijotosi ternyata oplas" yang bisa membuka ke arah adanya persekongkolan atau kerja sama, atau sama-sama tahu untuk menyebar kebohongan. Tujuannya lebih jelas, bikin ribut di masyarakat, dan pada akhirnya masyarakat tak percaya pemerintah. Tiadanya kepercayaan berarti chaos, berarti kegaduhan. Ini membahayakan karena tiadanya faktor keamanan yang terganggu.

Yang baru saja berlangsung, Bagus Bawana yang didakwa menyebarkan berita yang ternyata bohong. Bahwa kotak suara sudah dicoblos untuk keperluan capres tertentu. Jumlahnya mencapai tujuh juta suara. Diselundupkan lewat kapal laut, dan terbongkar. Katanya. Ternyata kemudian, itu tidak benar. Bayangkan akibat yang ditimbulkan tak terbayang jika benar tersebar dan dianggap besar, baik kasus Ratna ataupun jutaan kotak suara.

Akan tetapi, kenapa hoaks berapa kali pun terbongkar, tetap menyebar. Tahun lalu kasus ini telah diangkat dalam seminar nasional secara lengkap dengan mempertemukan jalinan adanya humor, hoaks, dan politik. Politik sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hoaks politik menjadi dominan, hingga saat ini. Tentu beberapa selebritas, tokoh masyarakat yang masuk perangkap, namun akibat sosial tak seseram kaitan politik. Dua kasus di atas menunjukkan bahwa "ketidakpercayaan pada pemerintah, atau penyelenggara pemilu/pilpres" bisa fatal.

Di sini peran humor dilirik. Kenapa humor macet dalam persoalan ini? Kenapa tak ada suara riang ria, meledek tanpa menyakiti, mengritik dengan pengertian? Kadang masih bisa, namun kenyataannya justru pemusuhan dan lontaran kebencian yang lebih menonjol? Kenapa tidak ada suasana ala Gus Dur yang begitu lucu, mengena dan komunikatif? Humor mungkin akan bicara, dan menyertai, namun porsinya sudah tereliminir. Sehingga yang diperlihatkan adalah justru hujatan, saling tuntut, suara sengit dan kasar.

Untuk adegan yang sama pun, kelompok yang berbeda, bisa saling meniadakan yang lain. Kebetulan saya ikut bicara dalam seminar nasional tentang humor, dan yang dihidupkan kembali melalui program televisi. Saya masih ingin peran humor dalam merebut peran hoaks di lapangan, namun melihat kenyataan, agaknya susah muncul di permukaan. Kampanye yang tinggal beberapa hari, justru makin kasar, makin keras, dan makin meninggalkan tata krama.

Untuk peristiwa humor, untuk terjadi lucu, perlu kebesaran hati untuk berendah diri, berendah hati. Tanpa rendah hati, tanpa keberanian dan kerelaan untuk mengkritisi diri, humor tak terciptakan. Dan selama ini, kedengkian dan kebencian menjadi lebih dominan.

Lebih baik berani mengkritisi diri, menertawakan diri dibanding mengumbar kebencian... mungkin ini bisa menjadi kunci peran humor dan hoax dalam dunia politik yang mencapai titik terpanas saat ini.

Baca Juga: