Kasus Viostin DS buatan PT Pharos Indonesia dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories sudah lebih dari sepekan terungkap. Namun, peredaran suplemen makanan yang mengandung DNA babi itu masih sulit dihentikan. Padahal, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memerintahkan dua perusahaan itu menarik kedua produk tersebut dari peredaran serta menghentikan produksi.

Berdasarkan laporan BPOM, kedua perusahaan itu melakukan inkonsistensi atau memberi informasi yang tidak sesuai antara data pre-market dan hasil pengawasan post-market. Maksudnya, ketika dilakukan pengujian pada pengawasan post-market menunjukkan positif DNA babi. Sementara itu, data yang diserahkan dan lulus evaluasi Badan POM saat pendaftaran produk (pre-market), menggunakan bahan baku bersumber sapi.

Pengawasan pre-market merupakan evaluasi terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk sebelum memperoleh nomor izin edar (NIE). Aartinya, produk yang mengandung bahan tertentu berasal dari babi maupun bersinggungan dengan bahan bersumber babi dalam proses pembuatan wajib mencantumkan informasi tersebut pada label.

Sementara itu, pengawasan post-market bertujuan melihat konsistensi mutu, keamanan, dan khasiat produk yang dilakukan dengan sampling, pemeriksaan sarana produksi, distribusi, pemantauan farmakovigilan, pengawasan label, dan iklan. Produk yang di-sampling kemudian diuji laboratorium untuk mengetahui obat dan suplemen makanan tersebut memenuhi persyaratan yang telah disetujui saat evaluasi pre-market. Hasil uji menjadi dasar tindak lanjut terhadap produk yang di-sampling.

Atas dasar itu, PT Pharos Indonesia sebagai produsen Viostin DS dan PT Medifarma Laboratories sebagai produsen Enzyplex tampaknya sengaja mengakali prosedur baku peredaran obat dan makanan Indonesia. Tindakan nakal kedua produsen obat itu bukan semata kelalaian, tapi kesengajaan.

Untuk itu, instansi terkait, entah itu BPOM, Kementerian Kesehatan, maupun aparat hukum mesti menindak tegas kedua perusahaan. Diharapakan, hukuman yang diberikan kepada kedua produsen obat nakal itu bukan sekadar sanksi administratif, tapi harus tegas yang memberi efek jera.

Sebab, tindakan PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories yang memproduksi obat dan terdeteksi positif mengandung DNA babi, namun tidak mencantumkan peringatan mengandung babi adalah kejahatan. Kedua koporasi pantas diancam pidana sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan jo Pasal 6 huruf i Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo Pasal 26 Ayat 2 Undang-Undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Intinya pelaku usaha wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk.

Tak cukup itu, kedua perusahaan juga bisa dikenai pasal berlapis pidana maupun perdata. Sebab, tindakan mereka bukan saja mencoreng dunia kesehatan, tapi juga telah merugikan nama baik Indonesia.

Lebih dari itu, tindakan PT Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories seperti telah direncankan dan sengaja mengakali peraturan yang berlaku. Makanya, kalau tidak diberikan sanksi tegas, pemilik maupun pengelola kedua perusahaan nakal itu tidak akan jera.

Jika memungkinkan, pemilik maupun pengelola kedua perusahaan nakal itu dipublikasikan kemudian diminta pertanggungjawaban. Jika perlu, mereka juga diminta memasang permintaan maaf secara terbuka, sebelum akhirnya menjalani proses hukum. Di sinilah perlunyapenguatan dasar hukum pengawasan Obat dan Makanan melalui pengesahan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan.

Baca Juga: