Oleh: Romli Atmasasmita

Perkembangan hukum di Indonesia terutama setelah era reformasi di mana lalu lintas perhubungan dan perdagangan didasarkan pada kemajuan teknologi modern, telah terjadi peningkatan masalah hukum yang tidak cukup hanya diselesaikan melalui sistem hukum warisan Kolonial Belanda dengan beberapa perubahan/penambahan yang bersifat tambal-sulam; belum komprehensif dan antisipatif terhadap efeks samping negatif yang muncul dan diperkirakan akan terjadi.

Perkembangan terkini sejak era reformasi adalah telah terjadi proses internalisasi sistem hukum asing ke dalam sistem hukum yang tengah berlaku dalam bidang-bidang hukum tertentu; perubahan besar telah terjadi dalam bidang hukum perdagangan internasional dan regional serta hukum kontrak dan hukum penanaman modal asing.

Selain bidang hukum tersebut, bidang hukum pidana pun mengalami hal yang sama antara lain, terjadi dalam praktik di mana penyidik sama sekali tidak pernah memberitahukan hak-hak tersangka ketika dilakukan penangkapan dan penahanan, dan larangan tersangka menyampaikan pendapatnya yang akan memberatkannya dipersidangan nanti.

Selain hal-hal tersebut, pengadilan wajib memberikan kesempatan dan waktu yang cukup kepada terdakwa atau kuasa hukum atas namanya untuk menyampaikan pembelaan di dalam sidang pengadilan. Dalam praktik sidang pengadilan perkara pidana ternyata telah di dominasi majelis hakim dan terhambat oleh keterbatasan waktu sidang sehingga tujuan hukum pidana untuk menemukan kebenaran materiil suatu perkara tidak pernah tercapai. Selain hal tersebut, faktor-faktor diatas telah mengakibatkan pledoi/nota pembelaan terdakwa atau kuasa hukumnya kurang dipertimbangkan majelis hakim.

Praktik hukum sedemikian telah menimbulkan keragu-raguan pencari keadilan tentang letak kepastian, keadilan dan kemanfaatan dari suatu proses peradilan. Keragu-raguan ini semakin menjadi-jadi ketika campur tangan kekuasaan dan uang turut menentukan menang-kalahnya suatu perkara pidana.

Pertanyaan mendasar yang lahir dari praktik hukum sedemikian adalah di manakah letaknya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan keberlakuan hukum yang ditasbihkan memberikan tempat yang layak bagi kehidupan manusia? Masyarakat terutama ahli hukum dan advokasi hukum sungguh miris melihat praktik curang di dalam dan di tengah proses peradilan untuk menemukan kebenaran materiel dengan tujuan mencapai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Kesimpangsiuran hukum yang merupakan derivatif dari praktik hukum curang adalah asas legalitas yang telah diwujudkan dalam teori kesalahan untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang mana.

Teori kesalahan telah menentukan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) yang secara klasik harus dimaknai bahwa tanpa adanya kesalahan dari suatu perbuatan seseorang tidak dapat dihukum sebagaimana yang telah dituliskan dalam ketentuan undang-undang pidana. Sedangkan Thomas Aquinas telah menambahkan asas kesalahan dengan asas kepatutan (billijkeheid) dan Bentham dengan paham kemanfaatan bagi masyarakat terbanyak (utilitarianisme); tidak kalah pentingnya dari asas kesalahan klasik, yaitu membentuk hukum pidana baru yaitu asas tiada pidana tanpa kesalahan, asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut).

Kelengkapan asas tiada pidana tanpa kesalahan tersebut diharapkan kebenaran materiil dapat dicapai secara objektif, terang dan tidak berpihak. Contoh, kasus Misnah yang mencuri 5 (lima) bua kakao dan kasus lainnya yang serupa sekalipun perbuatannya harus dihukum, tetapi kemiskinan seorang misnah patut dipertimbangkan dan majelis hakim terpaksa menjatuhi hukuman percobaan (hanya karena asas kesalahan), sedangkan berdasarkan asas tiada kesalahan tanpa kemanfaatan seharusnya misnah dituntut bebas oleh penuntut umum dengan peringatan oleh majelis.

Merujuk contoh kasus tersebut tidaklah keliru jika almarhum Roeslan Saleh, ahli hukum pidana terkemuka; mengatakan bahwa hukum pidana adalah pergulatan kemanusiaan (yang adil dan beradab, sic penulis). Praktik hukum kekinian pernyataan alm. Roeslan Saleh tampaknya telah terpinggirkan oleh betapa kerasnya persaingan tidak sehat dalam kehidupan perekonomian saat ini.

Perlu Tangan Besi

Faktor intervensi kekuasaan dan uang kini telah menampakkan diri secara terang-terangan dan terbuka menambah parah wajah hukum kita menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Fungsi dan peranan hukum sejak awal kelahirannya, membatasi kekuasaan; kini sebaliknya yang terjadi di mana hukum telah dijadilan alat (tools) untuk menghalalkan kezaliman kekuasaan.

Fungsi dan peranan hukum sedemikian wujud dari apa yang dikemukakan Machiavelli pada abad 15-16 bahwa kekuatan (power) dan kekerasan (force) mengalahkan/menguasai mereka yang lemah (powerless) sehingga terdapat sinisme masyarakat bahwa "hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas".

Hukum kini dan ke depannya sangat memerlukan tangan besi yang memahami karakter hukum dan dapat melakukan terobosan hukum (legal breakthrough), bukan legal-breaking; mampu menggerakkan revolusi dalam pembentukan hukum yang baik untuk rakyat dan penegakan hukum yang objektif, dilaksanakan dengan sikap profesional beretika serta bertanggung jawab, dan tidak tergoyahkan baik oleh kekuasaan maupun uang.

Untuk tujuan tersebut diperlukan pejabat pemerintah dari pusat ke daerah dari seorang presiden sampai kepala desa yang mampu memberikan teladan dan memiliki karakter negarawan yang terbentuk dari hati nurani hanya demi kehormatan dan kemajuan bangsa yang memiliki luas wilayah hampir dua juta km2, meliputi 17.000 pulau-pulau dengan 270 juta jumlah penduduk.

Baca Juga: