PARIS - Emmanuel Macron pada Minggu (26/5) memulai kunjungan kenegaraan pertama presiden Prancis ke Jerman, berupaya meredakan ketegangan juga memperingatkan bahaya kelompok sayap kanan menjelang pemilu Uni Eropa.

Macron dalam kunjungannya selama tiga hari akan berusaha menekankan pentingnya sejarah hubungan pascaperang antara dua negara utama UE ini, seiring Prancis memperingati 80 tahun sejak pendaratan D-Day yang menandai awal dari berakhirnya Perang Dunia II pada bulan depan.

Namun semuanya tidak berjalan mulus dalam hubungan yang sering dianggap sebagai mesin Uni Eropa itu, Berlin terkejut dengan penolakan Macron untuk mengesampingkan pengiriman pasukan ke Ukraina dan para pejabat Jerman merasa tidak nyaman dengan gaya kebijakan luar negeri Macron yang sering kali bersifat teatrikal.

Dalam sesi tanya jawab di media sosial dengan kaum muda awal bulan ini, Macron meminta bantuan Kanselir Jerman Olaf Scholz ketika ditanya apakah "pasangan" Prancis-Jerman masih bekerja.

"Halo teman-teman terkasih, panjang umur persahabatan Prancis-Jerman!" Scholz berkata dalam bahasa Prancis dalam video di X feed Macron. "Terima kasih Olaf! Saya sangat setuju dengan Anda," jawab Macron dengan aksen Jerman yang kental.

Meskipun Macron sering berkunjung ke Berlin, perjalanan ini akan menjadi kunjungan kenegaraan pertama dalam 24 tahun setelah perjalanan Jacques Chirac pada 2000 dan yang keenam sejak kunjungan kenegaraan pertama pascaperang Charles de Gaulle pada 1962.

Kunjungan Macron akan dimulai pada Minggu sore dengan perundingan dengan timpalannya dari Jerman Frank-Walter Steinmeier, yang perannya sebagian besar bersifat seremonial dibandingkan dengan kekuatan kepresidenan Prancis.

Pada hari Selasa ia akan melakukan perjalanan ke Dresden di bekas Jerman Timur untuk menyampaikan pidato tentang Eropa di sebuah festival Eropa. Pada hari Selasa Macron akan berada di kota Munster di Jerman barat dan kemudian di Meseberg di luar Berlin untuk melakukan pembicaraan dengan Scholz dan pertemuan kabinet gabungan Perancis-Jerman.

Cara Kompromi

Lawatan ini dilakukan dua minggu menjelang pemilu Eropa, di mana jajak pendapat menunjukkan bahwa hal yang sangat memalukan bagi Macron, karena koalisinya tertinggal jauh di belakang kelompok sayap kanan dan bahkan mungkin kesulitan untuk mencapai posisi ketiga.

Pidato di Dresden, sebuah kota di mana kelompok sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) mendapat dukungan besar, kemungkinan besar akan membuat Macron memperingatkan bahaya yang ditimbulkan kelompok sayap kanan terhadap Eropa.

Dalam pidato utama mengenai kebijakan luar negeri bulan lalu, Macron mengeluarkan peringatan mengerikan tentang ancaman terhadap Eropa di dunia yang terus berubah setelah invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022.

"Eropa kita saat ini fana dan bisa mati," kata Macron. "Ia bisa mati dan ini hanya bergantung pada pilihan kita."

Para pejabat dari kedua belah pihak dengan susah payah menekankan bahwa meskipun ada ketegangan berkala mengenai isu-isu tertentu, landasan fundamental dari hubungan tersebut tetap kuat.

Namun penolakan Macron untuk mengesampingkan pengiriman pasukan ke Ukraina memicu tanggapan asam yang tidak biasa dari Scholz bahwa Jerman tidak mempunyai rencana seperti itu. Jerman juga tidak memiliki antusiasme yang sama dengan Macron terhadap otonomi strategis Eropa yang tidak terlalu bergantung pada Amerika Serikat.

"Hubungan Prancis-Jerman adalah tentang ketidaksepakatan dan upaya mencari cara untuk berkompromi," kata Helene Miard-Delacroix, spesialis sejarah Jerman di universitas Sorbonne di Paris.

Baca Juga: