Kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme sudah jelas dampaknya bagi masyarakat banyak. Korupsi, bukan saja menggerogoti keuangan negara, tetapi berakibat dana pembangunan untuk kepentingan masyarakat berkurang. Rakyat yang seharusnya menikmati berbagai fasilitas layanan publik akan mendapat fasilitas buruk karena dana pembangunannya dikorup.

Begitu juga dengan terorisme. Meski Polri terus menangkap sel-sel terorisme, ada saja yang masih melakukan aksi untuk melakukan teror dan membuat masyarakat khawatir akan keamanan negara. Aksi teror dalam berbagai bentuk kemungkinan masih dilakukan sebagian sel-sel teroris yang belum terlacak.

Akan halnya kejahatan dunia maya atau cyber, tak kalah jahatnya dengan korupsi dan terorisme. Kejahatan cyber itu seakan tidak dirasakan langsung masyarakat karena secara fisik tidak menimbulkan kegaduhan atau kerusakan. Tetapi secara psikologis, kejahatan cyber mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat. Di sinilah bahaya hoaks yang termasuk ranah kejahatan cyber.

Para pembuat dan penyebar hoaks punya tujuan jelas menyebarkan informasi agar penerima yakin, lalu memiliki pandangan atau respons seperti keinginan penyebar. Jika tujuan tercapai, pembuat dan penyebar hoaks akan terus memproduksi berbagai informasi yang bohong. Maraknya berbagai elemen masyarakat membuat dan menyebarkan hoaks karena tidak memiliki tanggung jawab akan bahaya sangat luar biasa tindakan mereka. Yang jelas, mereka tidak memiliki integritas dan hanya mementingkan kelompoknya sendiri.

Tren meningkatnya hoaks dalam kaitan politik atau pemilu, dipicu persaingan yang tidak sehat dalam mengikuti kontestasi baik pilkada maupun pilpres. Maka, menjelang masa kampanye, selama masa kampanye, dan setelah pencoblosan banyak relawan dan pendukung salah satu pasangan yang berusaha melakukan kampanye hitam dan menyebarkan berita bohong untuk melemahkan lawan.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika membuktikan meningkatnya pembuatan dan penyebaran hoaks. Kominfo menemukan 1.645 konten hoaks sejak Agustus 2018 hingga 25 April 2019. Ini terkait Pemilu Serentak 2019. Yang menarik, ketika pemerintah membatasi penggunaan media sosial selama beberapa hari terkait kerusuhan 21-22 Mei, masih ditemukan banyak hoaks.

Kominfo mencatat 30 hoaks yang tersebar selama pembatasan penggunaan media sosial antara 22 dan 25 Mei. Artinya, ketika ada pembatasan pun, masyarakat tetap berusaha memproduksi hoaks dan menyebarkannya.

Karena itu aparat kepolian tiada henti untuk memantau dan menindak tegas mereka yang jelas-jelas membuat dan menyebarkan hoaks, terutama melalui media sosial. Misalnya, Minggu (25/5) aparat menangkap anggota BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Mustofa Nahrawardaya. Dia ditangkap sebagai tersangka penyebaran hoaks kerusuhan 22 Mei 2019.

Dasar penangkapan Mustafa adalah cuitan di Twitter @AkunTofa. Cuitan tersebut menggambarkan seorang anak bernama Harun (15) yang meninggal setelah disiksa oknum aparat. Padahal, fakta sebenarnya tidak seperti itu. Ini sangat menyesatkan dan mendiskreditkan institusi Polri yang dituding menyiksa remaja. Kita mengapresiasi aparat yang tanggap dan bertindak cepat. Aparat menangkap dan menjerat mereka yang membuat dan menyebarkan hoaks, mengingat dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya bagi masyarakat.

Begitu juga Kominfo yang terus mengawasi hoaks dan tak lelah mendorong masyarakat melaporkan melalui aduankonten.id atau akun Twitter @aduankonten jika menemukenali konten dalam situs atau media sosial mengenai aksi kekerasan atau kerusuhan di Jakarta.

Kita sekali lagi mengingatkan masyarakat untuk tidak bertindak bodoh atau membodohi masyarakat dengan memproduksi dan menyebarluaskan hoaks. Jerat hukum menanti mereka yang terbukti melakukan tindakan kejahatan cyber dengan membuat dan menyebarkan hoaks.

Baca Juga: