Pemilu tidak sekadar legitimasi kekuasaan politik maupun prosedur rutin negara demokrasi. Namun, juga sebagai mekanisme terpenting pelaksanaan hak konstitusional warga sebagai bagian HAM.

JAKARTA - Penyelenggara pemilihan umum (pemilu) diminta "menghitung" jeda antara jadwal Pemilu dan Pilkada 2024. Jeda perlu melihat penyelenggaraan Pemilu 2019. Permintaan ini disampaikan Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah di Jakarta, Rabu (3/11).

"Kita harus refleksi pelaksanaan Pemilu 2019. Ada beban pada penyelenggara yang sangat besar dan kompleks," kata Hurriyah. Dia mengatakan ini saat menjadi narasumber dalam diskusi publik Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Diskusi mengambil tema "Tarik Ulur Penentuan Jadwal Pemilu, Apakah KPU Masih Independen?"

Menurutnya, penyelenggaraan Pemilu 2019 yang berlangsung dalam satu hari dengan menyatukan pemilu presiden dan pemilu legislatif untuk anggota DPD, DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota sangat berat bagi penyelenggara. Apalagi bila jeda jadwal Pemilu 2024 berdekatan dengan Pilkada 2024.

Hurriyah menyarankan, penentuan jeda antara jadwal Pemilu dan Pilkada 2024 sepatutnya mempertimbangkan kesiapan dari tahapan ke tahapan pemilihan. Selain itu, memperhatikan seluruh kepentingan stakeholder mulai dari peserta pemilu hingga pemilih.

Jeda tersebut, ujar dia, sebaiknya mempertimbangkan pula kemampuan pemilih untuk mendapat informasi yang cukup baik terkait sosialisasi pemilihan maupun kampanye-kampanye para calon. "Pengalaman tahun 2019 lalu, misalnya, ketika pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan secara bersamaan, ada konsekuensi. Antara lain, isu-isu yang muncul di pileg menjadi hilang dan terserap konsentrasinya di pilpres saja," ucap Hurriyah.

Ia pun memaparkan bahwa sejauh ini terdapat dua opsi jadwal penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pertama, pemilu diselenggarakan pada 21 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024. Kedua, pemilu diselenggarakan pada 15 Mei 2024 dan pilkada pada 19 Februari 2025.

Dengan demikian, ia menekankan, diperlukan pertimbangan yang matang dari KPU untuk menentukan jeda di antara jadwal Pemilu dan Pilkada 2024. Hal ini demi menunjang kelancaran dan kualitas demokrasi yang baik.

Tegakkan HAM

Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, kembali mengingatkan KPU untuk memaksimalkan pemenuhan hak asasi manusiauntuk peserta pemilu, penyelenggara, maupun pemilih pada Pemilu 2024. "Ini terkait dengan agenda pemilu serentak legislatif dan presiden, serta pemilihan kepala daerah. Sebab, meski berbeda bulan, dalam tahun yang sama," kata Titi Anggraini.

Ungkapan Titi ini merespons pernyataan Koordinator Subkomisi Penegakan Hak Asasi Manusia Komnas HAM, Hairansyah, pada Diskusi HAM dalam Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 secara daring, Selasa (2/11).

Hairansyah mengemukakan bahwa Komnas HAM memandang bahwa pelaksanaan pemilu tidak sekadar memberi legitimasi bagi kekuasaan politik maupun prosedur rutin negara demokrasi. Namun, sebagai mekanisme terpenting untuk pelaksanaan hak konstitusional warga negara sebagai bagian dari HAM dan pengejewantahan pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Hairansyah mengutarakan bahwa hasil pemilu juga untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak-hak asasi manusia

Baca Juga: