Tahun 2018 menjadi tahun istimewa, di mana akan diadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak gelombang ketiga yang diselenggarakan bersamaan di 171 daerah. Komisi IIII DPR sebagai mitra utama Komisi Pemilihan Umum (KPU) turut mengawasi kesiapan KPU dalam melaksanakan pilkada serentak itu.

Untuk mengulas hal itu, Koran Jakarta mewawancarai Ketua Komisi II DPR, Zainuddin Amali, di Jakarta. Berikut petikannya.


Bagaimana Komisi II melihat kesiapan KPU dalam menyelenggarakan Pilkada serentak 2018?


Saya kira penyelenggara pemilu, khususnya KPU, sudah bekerja cukup baik dan cenderung telah siap. Apalagi, Komisi II DPR memandang Pilkada 2018 itu sebagai sebuah momentum bagi para stakeholder, dalam hal ini KPU dan Bawaslu, guna mempersiapkan secara matang tahapan pelaksanaan Pilkada serentak 2018.


Beberapa waktu lalu, Komisi II mempermasalahkan tentang tidak bisanya menggunakan surat keterangan (Suket) bagi pemilih yang belum memiliki KTP elektronik. Nah, bila Suket tidak bisa digunakan di Pilkada serentak 2018, bagaimana Komisi II menyikapinya?


Iya memang, tetapi itu kan beberapa waktu lalu. Kalau sekarang, Komisi II telah mendapat penjelasan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahwa seluruh proses perekaman KTP elektronik akan selesai pada akhir 2018. Itu berarti yang tidak memiliki KTP elektronik bisa menggunakan Suket.


Untuk masalah anggaran Pilkada serentak 2018 sendiri bagaimana?


Untuk anggaran Pilkada serentak 2018 di 171 daerah sendiri sudah ditetapkan mencapai 15,95 triliun rupiah. Di mana akan dipecah untuk dana hibah daerah untuk Pilkada serentak 2018 sebesar 11,9 triliun rupiah, Bawaslu 3,6 triliun rupiah dan pengamanan 379 miliar rupiah.


Bagaimana dengan potensi kerawanan konflik, apakah masih tinggi, terutama di daerah-daerah tertentu?


Kalau potensi konflik itu ya pasti. Yang namanya dalam kontestasi, konflik itu wajar apalagi pemilu. Hanya saja, persoalannya apakah konflik itu menjadi sesuatu yang selesai pascapilkada ataukah berlarut-larut dan menimbulkan perpecahan.


Potensi konflik terjadi di mana pun daerah yang menyelenggarakan pilkada. Apalagi Bawaslu sudah mengeluarkan indeks kerawanan pemilu (IKP) di mana menempatkan Provinsi Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat sebagai daerah yang tingkat potensi kerawananannya tinggi.


Menurut Anda, isu apa yang berpotensi menimbulkan konflik di Pilkada serenta 2018?


Masih politik uang dan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), ya. Nah, isu SARA itu lebih berbahaya karena kalau politik uang kan bisa selesai ketika saat hari pemilihan, tetapi isu SARA sampai pascapemilihan pun malah bahkan menjadi-jadi.


Apa saran dari Komisi II terkait dengan potensi konflik isu SARA ini?


Kami meminta kepada pasangan calon (paslon) yang akan mengikuti kontestasi pilkada nanti, jangan menggunakan isu SARA dalam kampanyenya. Dan Komisi II meminta agar Bawaslu menindak tegas kepada paslon yang menggunakan isu SARA dalam kampanyenya. rama agusta/P-4

Baca Juga: