Presiden menegaskan pemerintah akan memperluas tak hanya akan berhenti di hilirisasi nikel, melainkan juga akan melakukan hilirisasi tembaga, bauksit, timah, dan lainnya.

JAKARTA - Hilirisasi di berbagai sektor sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, terutama di daerah. Karena itu, hilirisasi harus terus didorong meskipun menghadapi sejumlah tantangan, terutama penolakan dari internasional.

"Untuk growth, pertumbuhan ekonomi daerah di Sulawesi Tenggara sebelumnya hanya rata-rata 7-7,5 (persen), begitu ada hilirisasi menjadi 15 persen pertumbuhan ekonominya di sana. Di Maluku Utara sebelumnya rata-rata 5,7 persen, setelah hilirisasi 23 persen," ujar Presiden Joko Widodo saat menghadiri pengukuhan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Senin (31/7).

Menurut Presiden, apabila seluruh provinsi di Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi serupa maka agregat pertumbuhan ekonomi nasional akan luar biasa. Dia menekankan ada dua hal penting yang menyebabkan Indonesia bisa melompat menjadi negara maju, yakni pengembangan SDM karena bonus demografi serta hilirisasi industri.

Sejauh ini, pemerintah telah melakukan hilirisasi terhadap nikel yang berdampak positif bagi peningkatan lapangan kerja di Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Menurut Presiden, hilirisasi telah meningkatkan penyerapan tenaga pengolahan nikel di Sulawesi Tenggara dari 1.800 tenaga kerja menjadi 71.500 tenaga kerja. Sementara di Maluku Utara, sebelum hilirisasi hanya 500 orang yang bekerja namun kini menjadi 45.600 pekerja.

Presiden juga menyampaikan hilirisasi produk turunan nikel meningkatkan nilai tambah dari 31 triliun rupiah menjadi 510 triliun rupiah. Namun, kata Presiden, pemerintah tidak hanya akan berhenti di hilirisasi nikel, melainkan juga akan melakukan hilirisasi tembaga, bauksit, timah dan lainnya.

"Dan tidak hanya berhenti di mineral saja, tetapi juga perkebunan dan kelautan yang ini berdasarkan hitung-hitungan kami, ini akan mengangkut UMKM, petani, nelayan, kalau mereka diberikan akses akan menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah, melalui rumah produksi bersama. Memang ini harus ada yang mengonsolidasikan," jelasnya.

Diprotes IMF

Namun, upaya hilirisasi di Indonesia menuai pertentangan dari dunia internasional. Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juni lalu mendesak pemerintah Indonesia mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.

Meski demikian, pemerintah berkomitmen tak akan melonggarkan hilirisasi seperti permintaan IMF. DPR RI bahkan meminta pemerintah jangan mau didikte asing terkait kebijakan hilirisasi tersebut.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, secara tegas tak menyetujui permintaan IMF agar Indonesia tak memperluas kebijakan hilirisasi lewat larangan ekspor komoditas bahan baku mentah. Untuk bisa mengubah status Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju, Indonesia harus bisa menciptakan nilai tambah dengan hilirisasi.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, mengingatkan pemerintah untuk patuh pada konstitusi. Menurutnya, permintaan IMF itu sangat tidak logis. Pasalnya, saat ini Indonesia tidak mempunyai kewajiban terhadap IMF. Karena itu, permintaan tersebut sangat tidak relevan disampaikan kepada pemerintahan yang berdaulat.

Sementara itu, Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan pelarangan ekspor oleh pemerintah sudah tepat. Persoalan mendasarnya, lanjutnya, apakah produk hilirisasi sudah sesuai dengan kebutuhan pasar, serta prosesnya telah memenuhi standar regulasi global misalnya yang telah diatur ICMM (International Council of Metal and Mining).

Baca Juga: