Pemerintah sebaiknya memasukkan syarat sumber energi bersih smelter dalam setiap perizinan investasi hilirisasi agar peluang pasar ke AS dan Eropa tak direbut negara lain.

JAKARTA - Kebijakan hilirisasi, terutama di sektor sumber daya alam (SDA) dinilai masih setengah hati lantaran realisasi program itu baru menyentuh bagian upstream (permukaan), belum ke tingkat dasar atau midstream dan downstream. Karena itu, realisasi program tersebut harus dibenahi agar hilirisasi benar-benar memberi banyak nilai tambah.

"Hilirisasi mineral Indonesia masih setengah jalan. Saat ini hilirisasi baru sampai upstream, belum sampai midstream dan downstream," tegas Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, pada Koran Jakarta, Senin (14/8).

Menurut Fabby, manfaat ekonomi dari program tersebut belum sepenuhnya dirasakan masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, manfaat terhadap penerimaan negara juga belum optimal. Hasil hilirisasi sekarang belum mampu membalikan tren deindustrialisasi.

Selain itu, lanjutnya, pemanfaatan energi untuk hilirisasi di smelter masih menggunakan batu bara yang tinggi karbon sehingga dapat menyebabkan carbon lock in atau penguncian karbon. Sejauh ini, pemerintah masih kurang tegas menuntut para investor di smelter menggunakan energi hijau.

"Masih sedikit yang gunakan energi hijau karena pemerintah kurang tegas selama ini," tandasnya.

Senada, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan peluang produk hilirisasi cukup terbuka lebar di pasar negara maju, termasuk komponen energi terbarukan yang membutuhkan nikel untuk baterai, tembaga untuk transmisi kelistrikan, dan perak untuk bahan solar panel.

Namun, lanjutnya, perlu dipastikan agar upaya mendorong hilirisasi memiliki standar Environmental Social Governance (ESG) yang tinggi, terutama menuju pada Scope 3. Dengan standar itu, perusahaan harus menjamin syarat keberlanjutan seluruh rantai pasok.

"Jadi jangan ada lagi penambangan liar, ekspor ilegal, dan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kawasan industri dalam proses smelter. Otomatis sumber energi dalam hilirisasi harus datang dari energi terbarukan. Masih sangat sedikit pabrik smelter yang menggunakan EBT," tegasnya.

Pemerintah sebaiknya memasukkan syarat sumber energi bersih smelter dalam setiap perizinan investasi hilirisasi. "Kalau tidak ada komitmen serius khawatir pasar ke AS (Amerika Serikat) dan Eropa akan direbut negara lain," ucap Bhima.

Ekspor Meningkat

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif, menegaskan hilirisasi di RI memberi banyak manfaat. Dia mengatakan posisi Indonesia sebagai eksportir utama produk hilir logam nikel terus menguat dalam beberapa tahun terakhir, utamanya setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor biji nikel dijalankan.

Ekspor Stainless steel, baik dalam bentuk slab, Hot Rolled Coil (HRC) maupun Cold Rolled Coil (CRC), mencapai 10,83 miliar dollar AS pada 2022. Nilai ekspor ini meningkat 4,9 persen dari 2021 sebesar 10,32 miliar dollar AS.

Berdasarkan data Worldstopexport pada 2022, Indonesia menjadi eksportir HRC urutan pertama dunia dengan nilai 4,1 miliar dollar AS. Febri menambahkan ekspor produk hilir dari nikel lainnya juga terus meningkat pesat.

Tercatat pada 2022, nilai ekspor ferronikel mencapai 13,6 miliar dollar AS atau meningkat 92 persen dibandingkan nilai ekspor pada 2021 yang sebesar 7,08 miliar dollar AS. Nilai ekspor nikel matte juga melonjak sebesar 300 persen, dari 0,95 miliar dollar AS pada 2021 menjadi 3,82 miliar dollar AS pada 2022.

Tak hanya itu, hadirnya nikel di Indonesia juga mampu mengerek produk domestik regional bruto (PDRB) industri di provinsi tempat smelter nikel berada. Sulawesi Tengggara, sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia, mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74 persen pada 2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel.

Baca Juga: