» Indonesia terus berkutat di sektor yang nilai tambahnya rendah, seperti pengolahan sawit, tekstil, pengolahan produk kulit yang tidak meningkat skill-nya.
» Potensi ekonomi daerah harus dioptimalkan, terutama sektor yang berkontribusi pada pertumbuhan.
JAKARTA - Hilirisasi dinilai sebagai kunci Indonesia meningkatkan kapasitas perekonomian sehingga lolos dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap. Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mengatakan Indonesia perlu melakukan transisi ke sektor industri yang memberikan output besar, namun membutuhkan tenaga kerja yang sedikit.
Transisi, katanya, harus dilakukan dari first stage yakni bertumpu pada komoditas/pertanian yang serapan tenaga kerjanya banyak, namun output-nya relatif kecil, ke second stage yakni sektor manufaktur yang output-nya besar, namun serapan tenaga kerjanya juga besar.
Kemudian, transisi ke third stage yakni sektor tersier/service yang output-nya besar, namun serapan tenaga kerjanya relatif kecil, seperti perusahaan teknologi. "Middle income trap adalah kalau kita gagal berangkat dari stage 1,5 ke 2 atau 2 ke 3," kata Riefky, di Jakarta, Kamis (10/11).
Untuk mencapai tahap itu, kuncinya adalah mendorong investasi ke sektor manufaktur yang menghasilkan nilai tambah yang lebih.
"Jadi perlu adanya hilirisasi. Kalau kita terus berkutat di sektor yang nilai tambahnya rendah, misalnya pengolahan sawit, pengolahan tekstil, pengolahan produk kulit, kita tidak meningkat skill-nya," kata Riefky.
Selain itu, permasalahan Indonesia sehingga belum bisa keluar dari middle income trap karena tidak ada konsistensi kebijakan yang mana kebijakan berubah ketika rezim berganti.
Padahal, menurut dia, sebuah negara membutuhkan waktu 20 hingga 30 tahun untuk keluar dari middle income trap. "Indonesia rentan terhadap middle income trap karena setiap rezim berubah, sektor yang didorong juga berubah," kata Riefky.
Dia mengingatkan momentum keunggulan bonus demografi Indonesia hanya sampai tahun 2035. Setelah itu, piramida usia penduduk akan berbalik, jumlah penduduk usia nonproduktif akan menjadi lebih banyak.
Artinya, momentum Indonesia untuk keluar dari middle income trap hanya sisa 13 tahun lagi, sisanya akan lebih sulit untuk dilakukan.
"Kalau penduduk yang usia produktif menjadi tua, padahal selama usia produktif dia tidak produktif, ini menjadi beban, satu beban fiskal tentu dari berbagai macam asuransi. Dan dependency ratio juga menjadi berat, satu masyarakat produktif menanggung lebih banyak masyarakat tidak produktif, " jelas Riefky.
Senada dengan Riefky, pengajar dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan berkaca dari pengalaman Tiongkok, mereka baru bisa mengalami lompatan kapasitas ekonomi selama 20 tahun.
"Resepnya, infrastruktur, hilirisasi industri, digital ekonomi. Infrastruktur tentunya menjadi driver pertumbuhan ekonomi," jelas Esther.
Selanjutnya, hilirisasi industri, artinya mengolah komoditas pertanian dari komoditas mentah menjadi produk jadi, misalnya sawit diolah menjadi oleokimia, karet menjadi ban, sarung tangan, dan seterusnya.
Beberapa sektor yang bisa digarap yakni perkebunan, perikanan, kehutanan, kelautan, minyak, mineral, dan gas.
Sedangkan digitalisasi ekonomi juga penting karena tidak mengenal crossborder, dunia tanpa batas, sehingga semua bisa lebih efisien.
Optimalkan Potensi
Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengatakan untuk menghindari jebakan middle income trap, perlu sinergi yang kuat antara pusat dan daerah untuk memastikan potensi yang bisa dioptimalkan.
Misalnya, di Yogyakarta sektor pariwisata dan pendidikan merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi. Pariwisata dan pendidikan merupakan kunci ekonomi Yogyakarta melesat tinggi pada triwulan III-2022 yakni tumbuh 6 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan nasional.
Selain memetakan potensi ekonomi daerah, peran belanja pemerintah juga perlu dioptimalkan, seperti percepatan pencairan Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum ke daerah sehingga penyerapannya optimal dan mendorong perekonomian di daerah.
"Kalau masalah teknis ini bisa diatasi maka dari tahun ke tahun serapannya lebih meningkat, sehingga ekonomi daerah bisa tumbuh lebih tinggi," kata Susilo.