>> Andalkan ekspor komoditas, Indonesia makin tertinggal dengan negara tetangga.
>> Akibat rendahnya daya saing, Indonesia terus menghadapi fenomena deindustrialisasi.
JAKARTA - Pemerintah diharapkan memacu diversifikasi produk atau hilirisasi industri agar produk andalan ekspor mampu bersaing di pasar global. Apabila, hilirisasi tersendat maka Indonesia akan rentan terhadap gejolak ekonomi. Selain itu, kinerja ekspor Indonesia juga berpeluang terkejar oleh negara-negara pesaing baru.
Ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, mengungkapkan kenaikan harga komoditas global belakangan ini ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja ekspor. Yang terjadi selama dua bulan terakhir neraca perdagangan Indonesia malah defisit. "Padahal harga komoditas naik. Ini nggak seperti biasanya lho.
Biasanya, kalau harga komoditas naik, neracanya selalu surplus, sekarang kok malah defisit. Ini penyebabnya karena ekspor kita masih bergantung komoditas," kata dia, di Jakarta, Minggu (18/2). Di sisi lain, imbuh Heri, impor yang semakin sulit dikendalikan juga menjadi ancaman serius bagi Indonesia.
Aliran impor yang semakin deras sebenarnya tidak jadi masalah asal bisa dikonversi dengan ekspornya yang jauh lebih besar. Heri pun mengaku heran dengan defisit neraca perdagangan pada awal tahun ini. Sebab, yang terjadi di sejumlah negara tetangga justru sebaliknya. Mereka justru menjadikan ekspor sebagai mesin pengerek pertumbuhan ekonomi.
Menurut dia, rendahnya ekspor Indonesia disebabkan masih mengandalkan komoditas. Di sisi lain, negara-negara tetangga mengekspor produk berupa barang-barang hilir. "Makanya, kalau ada perbaikan ekonomi global yang lebih bisa memanfaatkan momentum itu adalah negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand.
Sementara, Indonesia masih terus-terusan ekspor komoditas sehingga kita nggak bisa bersaing untuk mengambil peluang pasar," papar Heri. Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ) dalam Catatan Awal Tahun 2018 mengemukakan trade creation pada liberalisasi perdagangan yang dilakukan Indonesia menciptakan kebergantungan yang tinggi pada produk impor.
Akibatnya, industri lokal semakin tidak kompetitif menghadapi gempuran produk impor. Misalnya, teriakan industri baja lokal yang digempur oleh produk baja impor. Trade creation adalah penggantian produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain.
Akibat rendahnya daya saing, Indonesia terus menghadapi fenomena deindustrialisasi, seiring kontribusi industri manufaktur yang terus menurun terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal ini sekaligus menunjukkan belum optimalnya sumberdaya yang dimiliki untuk proses penciptaan nilai tambah industri dan perluasan lapangan kerja.
Tantangan 2018
Ekonom UI, Telisa A Valianty, mengatakan tahun ini ada sejumlah tantangan yang mesti dihadapi, antara lain, tren digital ekonomi yang memiliki dua mata sisi. Positifnya akan menggeliatkan perekonomian, tapi di sisi lain mengancam kesempatan kerja. Kemudian, lanjut dia, yang perlu diwaspadai adalah kebijakan proteksionisme Amerika Serikat (AS) dan kenaikan suku bunga acuan The Fed.
Kenaikan bunga bank sentral AS dikhawatirkan akan mendorong kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, sehingga bakal memicu kenaikan suku bunga kredit. "Data terakhir, ekonomi AS membaik, dan disinyalir itu akan membuat bunga The Fed naik cukup pesat," jelas dia. Telisa memprediksi hingga akhir tahun The Fed akan menaikan suku bunga acuannya hingga 50 basis poin.
"Kalau lebih dari 50 basis poin itu yang kita khawatirkan. Kalau masih 50 basis poin itu masih diantisipasi oleh pelaku," kata Telisa. Namun, kalau BI harus mengikuti The Fed, Telisa menyarankan kenaikan bunga tidak terlalu tinggi, tapi dilakukan secara bertahap. Sebab, penurunan suku bunga acuan BI yang terakhir belum terasa dampaknya pada bunga kredit.
ahm/WP