JAKARTA - Ekonom yang juga Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan hilirisasi industri merupakan langkah Indonesia untuk melakukan transformasi ekonomi. Hilirisasi industri akan meningkatkan ekspor produk turunan mineral Indonesia, bukan bahan baku, sehingga nilai jualnya akan lebih tinggi di pasar internasional.

Dia pun mengapresiasi upaya pelarangan ekspor bijih nikel yang telah dilakukan sejak 2020 melalui penetapan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019. Menurut dia, penetapan kebijakan ini dilakukan pada momen yang tepat, dimana bersamaan dengan pembangunan smelter dan proyek hilir kendaraan listrik di Indonesia.

"Jadi dari sisi demand ada satu momentum yang mestinya kita ambil (nikel), karena kita punya dari sisi bahan bakunya," kata Faisal Dalam seminar dan peluncuran buku bertajuk Indonesia's Strategic Role In The G20: Expert Perspectives di Jakarta, Kamis (27/10).

Dia menjelaskan saat ini Indonesia memiliki momentum untuk memproduksi kendaraan listrik, yang bahan baku baterainya berkaitan dengan nikel. Apabila proyek ini dikerjakan dengan serius dan tepat pada jalurnya, dia optimistis Indonesia dapat menjadi pemain utama di tingkat global.

"Kalau nikel diolah sampai kemudian industri turunannya, kita akan menjadi pemain global sangat mungkin," kata Faisal.

Aksi Proteksionisme

Namun, dia tidak memungkiri, ada berbagai tantangan dalam upaya hilirisasi industri ini, di mana ada potensi Indonesia mendapatkan banned dari negara- negara maju, termasuk anggota Presidensi G20. "Pada saat yang sama, Indonesia di tuduh sebagai negara yang proteksionis. Padahal kita tahu bahwa tarif kita itu sangat rendah, dibandingkan dengan negara yang pasarnya besar lainnya," kata Faisal.

Namun, menurut dia, hilirisasi industri adalah salah satu langkah transformasi ekonomi yang dapat memaksimalkan potensi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki oleh Indonesia.

Seperti diketahui, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat realisasi investasi sektor industri manufaktur mencapai 365,2 triliun rupiah sepanjang Januari-September 2022 di tengah kondisi ekonomi dunia yang tidak menentu. Capaian tersebut meningkat 54 persen dibanding periode sama pada tahun lalu sebesar 236,8 triliun rupiah.

Merujuk data Kementerian Investasi/ BKPM, pada Januari-September 2022 sektor manufaktur memberikan kontribusi 40,9 persen terhadap total investasi yang mencapai 892,4 triliun rupiah. Secara kumulatif, investasi di Indonesia tumbuh 35,3 persen (yoy) dan selama sembilan bulan ini telah mencapai 74,4 persen dari target 1.200 triliun rupiah pada 2022.

Baca Juga: