Pada April 2021 terjadi restrukturisasi kementerian dan lembaga pemerintah. Salah satunya yaitu pemisahan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN). BRIN berdiri sendiri sebagai sebuah lembaga negara, sedangkan Kemenristek bergabung ke kementerian lain yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang berganti nama menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).

BRIN merupakan amanat dari Undang-undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi nomor 11 tahun 2019. UU tersebut mengamanatkan adanya suatu lembaga yang mengkonsolidasi dan mengintegrasikan program-program riset dan inovasi yang selama ini tersebar baik di kementerian, lembaga penelitian, maupun kampus.

Kehadiran BRIN diharapkan bisa menghadirkan ekosistem riset yang mampu menghilirisasi dan mengkomersialisasikan produk-produk inovasi karya anak negeri. Adapun tujuan akhirnya adalah menjadikan Indonesia yang selama ini terkenal sebagai negara yang berbasis ekonomi sumber daya alam menjadi negara berbasis ekonomi riset dan inovasi.

Banyak harapan dengan beridirinya BRIN sebagai lembaga tersendiri akan semakin menggairahkan iklim riset dan inovasi di Indonesia. Tentu BRIN harus bergerak cepat terutama untuk mengkonsolidasikan serta mengintegasikan lembaga riset yang ada serta program-program yang telah berjalan. Di sisi lain, kehadiran BRIN juga diharapkan mampu mengoptimalkan penanganan pandemi Covid-19 melalui hasil-hasil riset dan inovasinya.

Untuk mendalami aktivitas BRIN, wartawan Koran Jakarta, Muhamad Ma'rup mewawancarai Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, dalam beberapa kesempatan. Berikut petikan wawancaranya.

Bisa Bapak terangkan target serta tujuan dari pembentukan BRIN?

Pertama konsolidasi dari lembaga riset pemerintah supaya kita memiliki dampak besar terkait dengan sumber daya manusia (SDM) unggul, infrastruktur, dan anggarannya. Dengan ketiga modal tersebut kita diharapkan bisa membentuk ekosistem yang lebih bagus untuk riset inovasi. Sehingga itu bisa mendorong ekonomi untuk Indonesia maju yang basisnya riset dan inovasi.

Bagaiman kita melakukan itu, banyak cara dan mekanisme. Sebagiannya melakukan konsolidasi dengan lembaga riset pemerintah. Itu kita lakukan kemungkinan besar secara legal kita mulai bulan-bulan depan ini. Kita bertahap pertama kita lakukan terhadap kemenristek dan empat Lembaga Penelitian Non Kementerian (LPNK). Kedua beberapa unit riset dan badan penelitian dan pengembangan di kementerian dan lembaga yang sudah siap.

Yang krusial kita melakukan perubahan proses bisnis. Kita tidak cuma ganti baju, kita akan lakukan perubahan proses bisnis secara fundamental sehingga terjadi konsolidasi sumber daya yang benar-benar nyata.

Tadi Bapak menyebut soal tiga hal yaitu SDM unggul, infrastruktur, dan anggaran. Bagaimana BRIN menyinergikan ketiga hal tersebut?

Dalam ekosistem riset dan inovasi kita memiliki tantangan untuk tiga input riset dan inovasi tersebut. Secara persentase dalam ekosistem riset SDM unggul itu 70 persen, infrastruktur 20 persen, anggaran paling kecil.

Meski anggaran paling kecil itu juga masuk input utama. Kalau Tidak ada anggaran ya tidak ada semua. Tapi bukan berarti kalau anggaran kurang, semua tidak bisa. Tidak begitu.

Kenapa infrastruktur itu penting, sebab mampu menjadi magnet. Hubungan antara infrastruktur dan anggaran kalau kita ingin perubahan manajemen fundamental harus ada pengaturan anggaran lebih baik punya kapasitas untuk meningkatkan infrastruktur.

Kita ingat mengapa sebagian besar peneliti kita berkeliaran di luar negeri dan tidak mau kembali sebab tidak ada infrastruktur. Jadi itu harus diperbaiki. Jadi sederhannya peneliti asal dikasih gaji bagus, infrastruktur cukup memadai, SDM unggul akan kuat dan mereka dibiarkan saja bisa jalan.

Untuk menciptakan SDM unggul itu, pendidikan hanya satu titik awal. Harus terus dikembangkan melalui proses learning by doing dengan ketersediaan lab dan SDM peneliti yang jjuga unggul unntuk bahu membahu.

Tadi saya sebut banyak peneliti kita yang berada di luar negeri. Jika kita paksakan agar mereka mau pulang harus ada sesuatu. Yang bisa menyediakan itu saat ini hanya pemerintah. Riset dan pengembangan swasta masih sangat sedikit.

Dalam riset dan inovasi ada juga peran dari swasta. Bagaimana Bapak melihat perannya sejauh ini?

Selama ini kelemahan industri kita riset dan pengembangannya hampir tidak ada. Tidak bisa disalahkan juga sebab memang itu butuh biaya tinggi dengan risiko yang tinggi juga. Sehingga tidak banyak perusahaan mau fokus ke situ.

Dalam kondisi itu, BRIN harus jadi enabler atau penghubung lembaga di luar BRIN dan juga menjadi platform talenta unggul. Kita tidak bisa berharap pada kampus terus sebab tidak punya infrastruktur yang bisa membuat talenta unggul. Jadi baik kampus maupun industri apapun yang perlu riset dan pengembangan bisa memanfaatkan fasilitas di BRIN untuk meningkatkan kompetitif produknya. Setelah itu ada dampak ekonomi yang akan terjadi.

Swasta berperan dalam hilirisasi dan komersialisasi. Bagaimana BRIN mengupayakan agar kegiatan tersebut bisa berjalan lancar dan optimal?

Hilirisasi dan komersialisasi produk inovasi juga menjadi tantangan. Selama ini saya tidak pernah melihat best practice hilirisasi seperti yang terjadi di luar negeri. Di Indonesia sering hilirisasi disederhanakan sebagai transaksi. Skemanya pendanaan dan lain sebagainya agar industri mau memakai hasil riset.

Hilirisasi dan komersialisasi bukan transaksi. Proses hilirisasi yang nyata bukan seperti itu. Basisnya adalah bermula dari kolaborasi. Kolaborasi basisnya saling membutuhkan dimulai interaksi antar manusia. Bukan institusi.

Misal ketika profesor kolaborasi dengan perusahaan itu bukan transaksi. Tapi, kita melihatnya seolah transaksi. Kita tidak tahu proses yang sudah dilalui antara perusahaan dan profesor.

Kita selalu menggampangkan. Saya berupaya ingin koreksi meski tidak mudah. Jadi sangat kita tekankan dengan SDM unggul dan platfom agar orang bisa berinteraksi dengan bebas. Dari situ secara alami muncul kolaborasi dan muncul hilirisasi, komersialisasi. Itu proses panjang tidak bisa sekadar transaksi.

Berbicara tentang restrukturisasi masih ada yang kebingungan soal pembagian tugas antara Kemendikbudristek dan BRIN. Bagaimana tanggapan Bapak terkait hal tersebut?

Begini, jadi sudah ada pembedaan tugas dan fungsi antara Kemendikbudristek dan BRIN. Kemendikbudristek fokus di kegiatan riset perguruan tinggi plus kalau dari sisi anggaran itu Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri bersumber dari dana pendidikan. Hanya itu. Di luar aspek itu dikembalikan ke BRIN.

Peraturan Presiden (Perpres) tentang Kemendikbudristek saat ini hanya bersifat sementara. Dalam Perpres permanen sedang diproses saat ini lebih ditegaskan lagi pembedaan itu.

Terkait dengan restrukturisasi dengan adanya BRIN, fokus integrasi kami yaitu unit riset dan periset tidak berubah secara aktivitas hari. Jadi LPNK (Lembaga Pemerintah Nonkementerian) tinggal ganti logo dan lembaga. Perubahan hanya ada di pucuk pimpinan.

BRIN sendiri bukan LPNK meski bukan kementerian. Kami lembaga pemerintah. Kami memiliki fungsi perumusan dan kebijakan yang bukan ranah Kemendikbudristek.

BRIN juga mengonsolidasikan badan Litbang di kementerian dan lembaga. Bagaimana progresnya sejauh ini?

Untuk program terkait riset dan inovasi di berbagai unit kelitbangan itu sudah sesuai arahan Presiden dan penegasan Menteri Keuangan ke kami langsung, itu akan dikelola oleh BRIN. Bukan dikoordinasikan, tapi langsung diintegrasikan. Proses itu sedang berjalan.

Nanti setelah 11 Juni tim dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menyisir lagi baik program maupun anggaran.

Untuk pengelolaan itu tidak perlu regulasi lain sebab secara prinsip seluruh litbang diintegrasikan ke dalam BRIN sebagaimana LPNK.

Pengelolaan ini penting juga untuk anggaran BRIN pada tahun 2022 nanti. Secara paralel sudah ketemu dengan pimpinan kementerian. Jadi kita kurang lebih tahu opsi yang diambil kementerian.

Terkait Covid-19 ini, apakah Konsorsium Riset Penanganan Covid-19 serta Vaksin Merah Putih masih berada dalam koordinasi BRIN?

Itu masih berada di BRIN. Khusus Vaksin Merah Putih, selama sebulan sudah evaluasi secara mendalam. Vaksin Merah Putih dikembangkan 7 tim dengan platform dan progres berbeda.

Pengembangan vaksin tahapannya panjang, kegagalan bisa terjadi di setiap proses. Saat ini berprogres lebih cepat itu di Universitas Airlangga berbasis inactivated virus. Kedua, vaksin dikembangkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yaitu vaksin berbasis protein rekombinan.

Untuk uji klinis saat ini vaksin merah putih pertengahan 2022, Unair bermitra dengan Biotis, sedangkan Eijkman dengan Biofarma.

Meski 2022, vaksin kebutuhannya besar sekali dan kita juga masih berebut dengan negara lain. Sudah koordinasi dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Kesehatan untuk melihat situasi dalam membuat strategi Vaksin Merah Putih maupun vaksin made in Indonesia yang bibit vaksinnya kita beli dari luar negeri.

Potensi pengembangan bibit vaksin dari luar, BRIN mendukung. Meski lisensi dalam negeri, diharapkan tim kami dilibatkan agar ada pembelajaran. Banyak proses periset indonesia belum terlibat.

Apa saja tantangan dalam pengembangan Vaksin Merah Putih?

Jadi ini tantangannya sejujurnya banyak sekali. Tim periset kita belum pernah mengembangkan vaksin dan ini beragam pengalamannya. Kami mendorong bisa mempercepat itu.

Adanya pelibatan dalam pengembangan bibit vaksin luar negeri, dapat membuat Vaksin Merah Putih ketika uji praklinis dan klinis itu teman-teman sudah siap. Sehingga mengurangi potensi kegagalan pada tahap itu.

Bagaimana nanti proses distribusi dari Vaksin Merah Putih?

Jadi yang saya pahami seluruh vaksin Covid-19 itu harus gratis. Itu prinsip. Kalau ada Vaksin Gotong Royong itu perusahaan membayarkan agar perusahaan bisa cepat dapat prioritas agar karyawan aman. Tapi tidak boleh ada biaya ke end user.

Dengan adanya Vaksin Merah Putih jadi kita tidak berebut lagi. Kemungkinan besar kita akan berebut booster vaksin dalam setahun atau dua tahun ke depan. Kita harapkan Vaksin Merah Putih bisa masuk dan kita bisa lebih mandiri tidak harus berebut dengan negara lain.

Dengan adanya BRIN ini mendorong juga riset dan inovasi di daerah?

Kita dorong ada Badan Riset dan Inovasi Daerah di daerah. Nanti akan ada program khusus untuk menyegerakan pendampingan ke daerah agar bisa membentuk badan tersebut di kabupaten kota atau provinsi.

Apa yang diharapkan dari dunia riset kita di masa datang?

Sinergi akademisi dan industri di awal kami fokus untuk jangka waktu dekat pada berbagai sumber daya alam dan keanekaragaman hayati lokal. Itu sudah ada, dan menarik bagi komunitas periset global juga.

Ada Cibinong Science Centre atau pusat riset life science berpotensi jadi platform kelompok untuk biodiversiti riset. Demikian dengan pusat observasi antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang dibangun di Kupang berpotensi untuk pengamatan bintang di selatan khatulistiwa yang sangat menarik. Ini akan menjadi wadah transfer of knowledge, teknologi, dan skill juga untuk meningkatkan kompetensi riset kita jangka panjang.

Kami sediakan open platform. Semua periset infrastruktur kami buka untuk bisa dipakai bersama-sama dengan pelaku usah industri, akademisi kampus mahasiswa, termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Baca Juga: